16. Maafkan aku, Dek

113 6 6
                                    

"Aikaaaaaa!" teriak Ratna dari dapur.  Wanita paruh baya itu menatapi semua isi lemari pendingin yang begitu banyak penuh sesak.

"Aikaaa, kenapa ini semua penuh gini?" tanya Ratna menunjuk pada lemari pendingin. "Bukannya Mama bilang beli seperlunya saja?" tanya Ratna lagi.

"'Oh, iya, Mah. Kaki Aika mulai sakit, jadi, biar lebih efisien, Aika belinya doble."
Aika kembali berbohong, karena ini ide Mario, yang ingin membeli banyak barang untuk ibunya itu, agar tidak menyuruh adik iparnya berbelanja.

"Jadi kamu beli semua ini dari ATM Mama?"

"Oh, tentu saja bukan, mesin EDCnya rusak, itu pake duit Aika tenang aja!"

"Emang kamu punya duit dari mana?!" teriak Ratna lagi. "Emang kamu kerjanya apa, sampai punya duit, Heh!"

"Ya, dari anak Mama."

Ratna terdiam, Aika mengeluarkan ATM dari kantung bajunya. "Pinnya sama, kok, Ma. Ini, Aika balikin."

Aika memasang kembali headsetnya dan berjalan ke kamarnya. Dia tak ingin berkelahi dengan ibu mertuanya itu. Kepalanya pusing setelah hujan tadi malam. Belum lagi perutnya terasa perih karena belum makan dari pagi. Dia tak ingin mengambil apa-apa, tak ingin dihujani dengan tanya dan prasangka.

Aika kembali ke sofanya, bermalas-malasan di sana sampai tertidur lelap.

Sementara itu, Arbie buru-buru menutup restorannya. Baru saja jam 8 malam, dia sudah merapikan restorannya. Semua bahan disimpan pada tempatnya. Dia langsung pulang, ingin menemui Aika. Rasa berdosa menguasainya, hampir tak ada rasa masakan yang pas di lidah para pelanggan hari ini.

Dia pun pulang ke rumah, membawa buah tangan dan bunga untuk Aika. Dia ingin mimta maaf dengan benar pada istrinya itu.

"Kamu udah pulang, Bi?" tanya Ratna yang baru saja selesai makan malam.

"Aika mana, Ma?"

"Lah, nggak tahu, memang dasar mantu kurang ajar! Udah bikin Mama makan sendirian malam ini. Masa dia mau bikin Mama makan ama pembantu?"

"Aika di mana, Ma?"

Tanpa menanti jawaban ibunya, Arbie langsung berlari ke kamarnya. Dia mencoba mematut senyum agar terlihat tulus. Namun, senyumnya kaku. "Aku mengerikan!"

Lift itu akhirnya berhenti, Arbie berjalan pelan sambil mengatur napasnya di sepanjang koridor menuju kamarnya. Pintu kamarnya tidak dikunci, lampunya tidak menyala. Hanya semburat cahaya kecil dari layar ponsel saja yang terlihat dari kejauhan.

Arbie meraba dinding, mencari sakelar. Betapa terkejutnya dia melihat Aika terlelap di atas sofa dengan layar ponsel yang menyala. Dia mendekat, rasa kecewa mendadak merasukinya. Didekatinya istrinya itu.

Wanita cantik berambut panjang itu, tidur dalam balutan daster tipisnya. Wajahnya kemerahan dan biru, dengan bulir keringat yang membasahi dahi.

"Ka, Aikaaaa," bisik Arbie. Dia menguncang tubuh Aika. Wanita itu tidak bergerak, tubuhnya panas. Dia mendekatkan kepalanya, untuk mengecek napas, lalu dia meraba pergelangan tangan Aika untuk mencari denyut nadinya. Nadinya begitu lemah.

Arbie panik melihat kondisi Aika, dia mengguncangnya sekali lagi. Aika membuka mata, dia berusaha bangkit dari tidurnya. Dia melihat wajah suaminya yang merah dengan mata yang berkaca-kaca.

"Aika udah makan?"

"Makan?" gumam Aika pelan. "Ah, benar, mamamu belum makan," katanya berusaha bangkit dari tempatnya. Tubuhnya limbung, dengan cepat Arbie menangkapnya.

"Mama udah makan, Mas tanya Aika. Kalau belum makan, biar Mas masakin."

Aika melepaskan pelukan suaminya. Dia berjalan ke arah kulkas kecil yang ada di pojok ruangan. Dia mengambil kotak kecil berisi obat-obatan di sana. Arbie mendekatinya, berusaha membantu istrinya, tetapi Aika tak acuh. Tangan suaminya itu ditepisnya pelan. Dia mengambil sekeping roti dan juga seteguk air untuk meminum obat. Aika kembali ke sofa dan tidur di sana membelakangi Arbie.

Sikap Aika membuat Arbie meradang. Dia menarik Aika dan membopongnya ke atas tempat tidur. Selimut tebal itu dia jadikan alas.

"Tolong maafkan aku, Ka."

Aika duduk di atas tempat tidur melihat wajah Arbie.

"Harusnya, Aira yang mengisi tempat tidur ini, bukan aku kan?"

"Kaaaaaa, tolong jangan bahas dia," sela Arbie lagi.

Aika menghela napasnya. Dia berdiri dari tempat tidurnya dan pergi ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Asam. Hanya air bercampur cairan kuning saja yang keluar dalam muntahannya.

Arbie meninggalkannya sendirian, dia ingin membuatkan makanan untuk istrinya. Baru saja dia membuka pintu, ada Mario di depan kamarnya. "Ini, suapkan ke istrimu, dia tidak makan seharian," katanya pada adiknya. Mario menepuk pundak Arbie dan meninggalkannya sendirian.

Dia tak punya pilihan lain, bubur itu langsung dia bawa dan disajikan di dalam mangkuk kecil dari kaca. Aika sudah kembali ke sofanya dan duduk sambil membuka ponsel usangnya.

"Makan dulu, Dek."

Aika menoleh, dia bergeming, pandangan matanya kembali fokus pada ponselnya. Arbie tak peduli, dia duduk di samping Aika. Uap yang menguar dari bubur itu membuat Aika pun menoleh ke arah Arbie.

"Makan ya?" Arbie meminta Aika membuka mulutnya.

Dia pun terpaksa membuka mulutnya, cacing-cacing di dalam perutnya tak kuat lagi menahan rasa laparnya. Dia juga terpaksa membuang gensinya. Laki-laki di depannya memohon ampunannya dengan caranya sendiri.

Aika memandangi buket bunga mawar yang ada di lantai. Kelopaknya berjatuhan, bekas disentak dengan kuat. Pandangan matanya kini beralih pada laki-laki 28 tahun di sampingnya. Aika menghela napasnya, dia mengusap air mata di pipi Arbie.

"Maafin, Mas."

Aika bergeming, dia tak mau mendengar ucapan maaf dari suaminya lagi.

"Udah, Aika bosen dengernya. Mending ceritain yang lain." Dia menarik mangkuk bubur yang ada di tangan Arbie dan memakannya.

Arbie mengusap puncak kepala Aika, dia merapikan rambut istrinya yang acak-acakan. Dia mengecup kening Aika yang masih panas. Wanita cantik itu mendorong dadanya, "mending ambilin obat, tadi obatnya Aika muntahin," katanya datar.

"Iya, bentar." Arbie segera beranjak dari duduknya. Dia menuruti semua perkataan Aika, termasuk menghabiskan sisa buburnya.

Sepanjang malam, Arbie merawatnya, mengelus kepala Aika dan menyeka keringatnya. Dia tak mau dipindahkan ke atas tempat tidur. Arbie sudah sangat mengantuk, dia juga ingin tidur di tempatnya.

Tanpa meminta izin Aika, dia pun mengangkat Aika dari sofa ke atas tempat tidur. Aika meronta, tetapi tenaganya tak cukup kuat untuk mendorong Arbie. Belum lagi kantuk juga ikut menguasainya. Arbi memakaikan selimut pada istrinya itu. Dia juga ikut merebahkan diri di sampingnya.

Dia menoleh ke arah Aika, tangannya terulur, untuk mengelus kepala istrinya itu lagi. "Aika, maafkan aku," bisiknya pelan.
.
Pagi-pagi sekali, Arbie terjaga, dia tidak menemukan Aika di sampingnya. Dia langsung meloncat mencari Aika ke seluruh penjuru kamar. Bunga yang dia buang tadi malam sudah berpindah ke dalam vas di atas meja. Berikut hadiah yang ingin dia berikan, ditaruh rapi di atas meja.

Kamarnya rapi, seperti tak ada yang terjadi tadi malam. Arbie turun ke dapur untuk mencari Aika. Wanita itu ada di sana, dia berdiri di depan kompor dengan masker yang menempel di wajahnya.

"Aika, kamu nggak istirahat aja, biar Mas yang masak."

"Duduk!" kata Aika lurus.

"Hah?"

"Duduk! Ini dapurku!" katanya datar.

Arbie menunduk, dia ingat, kalau dia pun mengatakan hal yang sama seperti itu kemarin.

"Dedek masih ngambek?"

Aika mencebik dari balik maskernya. "Pagi dingin, siang anget, malam dingin, besoknya anget, mbok ya jadi laki-laki itu yang konsisten, kenapa!"

Pengantin Cadangan 2On viuen les histories. Descobreix ara