17. Tak disentuh

129 6 8
                                    

Aika masih sama, dia tidak memakai pakaian indah pemberian Arbie atau pun Ratna. Dia juga masih memakai ponsel usangnya. Iphone 14 pemberian Arbie terasa tak ada gunanya sama sekali. Dia tidak tergoda sama sekali. Bahkan, kalung berlian yang Arbie belikan demi meminta maaf pada istrinya itu pun masih ada di atas meja.

Dia tetap sama, membantu ibu mertuanya menyiapkan makanan. Berjemur di bawah sinar mentari. Dan minum jamu pemberian ibu mertuanya. Sesekali dia pergi membantu Arbie di restoran. Dia tak mau membahas anak atau pun pernikahannya yang tanpa adegan ranjang itu. Dia pun hanya akan tertawa pada ibu mertuanya yang mengatainya mandul.

Arbie berusaha untuk memperbaiki keadaan, sayangnya, hati Aika sudah mati. Dia acuh tak acuh pada laki-laki yang masih tercatat sebagai suaminya itu. Aika tak terlalu peduli pada sikap Arbie yang berubah manis. Dia juga tak acuh saat Arbie mulai membelikan barang-barang untuknya. Semua tidak disentuh, masih rapi di dalam bungkusnya.

Malam-malam pun terasa sepi, tak ada obrolan singkat sebelum terlelap. Tak ada saling dekap saat rindu datang menyerang. Tak ada kecupan ringan di pipi. Pagi juga sama mencekamnya, tak ada ocehan Aika tentang orang-orang yang dia temui. Dia diam, diam saja.

Mario tentu sedih melihat adik iparnya yang ceria tiba-tiba saja menjadi mayat hidup. Senyum pun rasanya hambar, tawa pun terasa getir.

Aika tidak berbicara, tidak tertawa, apa lagi menangis. Dia berubah menjadi Aluna. Dan parahnya lagi, hanya satu orang yang dia ajak berbicara, siapa lagi kalau bukan Aluna. Dua wanita itu jika sudah bertemu akan menepi lalu berbicara serius, dan mereka tertawa berdua.

Seminggu, dua minggu, hingga mencapai bulan baru, Aika masih sama. Dia lebih sibuk dengan ponsel jadulnya, saat paket datanya habis dia pun tak lagi memainkan ponselnya. Arbie sedih melihat perubahan Aika, dia juga tersiksa. Dia sudah bertekad menggoda istrinya itu malam ini.

Selepas mandi, Arbie hanya menggunakan bathrope dan berjalan menghampiri Aika yang duduk di sofa. Dia sedang membaca buku di sana. Saat menyadari suaminya tak menggunakan apa-apa duduk di sampingnya, Aika hanya menoleh sebentar, lalu memalingkan wajahnya dan kembali tenggelam dalam buku yang dia baca.

"Hape gak dipake? Wa juga gak dibales, emang kamu udah gak butuh lagi? Hapenya? Mas jual boleh?"

"Jual aja, mayan buat bayar karyawan tiga bulan," sahut Aika lurus. "Ah, ditambah biaya operasional, mayanlah dua bulan gaji karyawan."

Arbie melongo mendengarnya. "Itu perhiasan juga gak kamu lirik, mau dijual juga?"

"Istrinya juga gak kepake, dijual juga gak?" balas Aika ketus. Dia beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah kamar mandi.

Arbie mengambil ponselnya, dia rebahan dengan pakaiannya yang hanya berupa boxer dan bertelanjang dada. Aika terpaku menatapnya, dia mengambil t-shirt dan melemparkannya ke wajah Arbie. Dia kembali ke sofanya dan duduk sambil membaca buku.

"Nexflix gak aku lanjutin paketannya ya? Kan gak kamu pake!"

"Istri gak dipake, gak diputus aja kontraknya, Mas?"

Telak. Aika menang telak dalam hal menyindir. Dia sudah belajar dari Aluna untuk menjatuhkan mental lawannya dengan sikap dinginnya. Aika beranjak dari duduknya, dia menuju dapur untuk mengambil apel yang baru saja dia beli tadi pagi. Sebelum keluar dari kamar, dia melihat Arbie tertidur dengan ponsel yang menyala. Dia menutup tubuh suaminya dengan selimut lalu meninggalkannya di kamar seorang diri.

Walau dia tak ingin menyentuh ataupun disentuh oleh suaminya itu, bukan artinya dia tak peduli pada Arbie. Pakaian selalu tersedia untuknya. Makanan yang sama setiap pagi, makan malam yang sama setiap malam. Semuanya masih sama. Hanya sikap Aika saja yang berubah.

Pagi hari di bangun paling pagi untuk menyiapkan sarapan. Jus sayur untuk ibu mertua, kopi hitam untuk ayah mertua, roti lapis isi sayuran untuk Mario dan roti bakar untuk suaminya. Sementara dirinya, hanya mengambil sebutir apel dan susu kotak dari rak makanan. Dia berjalan ke halaman belakang untuk berolah raga bersama Edward.

"Memangnya, makan apel mulu bisa bikin kenyang?" tanya Ratna pada Aika yang baru saja akan berjalan ke taman belakang.

"Apel kan bikin sehat, mana tahu abis makan apel sekarung jadi gak mandul lagi, Ma."

Ratna gigit jari mendengar ucapan Aika. Dia tidak mau lagi mengusik mantunya itu. Semua perkataannya selalu kembali kepada dirinya. Dan itu, sangat menganggu.

Arbie datang, dia sudah berpakaian rapi dan masker di hidungnya. Dia melihat segelas susu hangat dan roti bakar ada di atas meja, tapi tidak dengan Aika.

"Aika mana, Ma?"

"Paling di belakang tu, nyabutin rumput sambil panas-panasan," sahut Ratna.

"Oh, ini buat Arbie ya?"

"Iya, siapa lagi di rumah ini yang makan roti bakar kalau bukan kamu. Eh lagian, kalian ini katanya udah baikan, kok keliatannya masih belum baikan sih?" Ratna mulai penasaran dengan anak laki-lakinya. "Kalian kalau malam berantem ya?"

"Nggak, kok, Ma." Arbie mendengus lemah, dia melahap roti bakarnya yang rasanya masih sama. Namun, tanpa senyuman dan tawa Aika, roti itu terasa hambar.

"Udahlah, Bi, ngalah aja, minta maaf sana!" usul Mario.

"Udah, aku udah minta maaf, udah beliin hape, beliin kalung, bunga, baju, semuanya dia simpan di lemari. Bahkan, aku sudah tampil tanpa busana di depannya juga dicuekin," keluh Arbie dengan wajah sedih.

"Ha-ha-ha, sukurin!" sahut Mario. "Emang bagus kamu digituin! Punya istri cantik dianggurin!!"

"Dianggurin gimana?" tanya Ratna mulai bingung dengan pembicaraan kedua putranya.

"Aika gak pernah disentuh, Ma. Gimana mau hamil cobak!" kata Mario santai.

"Kok, kamu tahu? Dia selalu beli test peck tiap bulan nunjukin ke Mama kalau negatif. Mama pikir dia mandul!"

Arbie menunduk, dia malu mengakuinnya.

"Astagfirullah, Arbieeee! Jahat itu namanya!!" pekik Ratna kuat.

Keributan kecil itu didengar Surya, ayah Arbie. Dia menggeser kursi dengan santainya, lalu duduk di antara anak dan istrinya. Matanya tertuju pada kursi kosong di sebelah Arbie. Kehadiran Surya membuat suasana ruang makan kembali mencekam. Pria paruh baya itu berdehem sebentar. Dia memanggil ajudannya.

"Nona Aika di mana?"

"Lagi manjat pohon mangga di samping, Pak."

Mario tertawa mendengarnya, "memang mendingan manjat pohon dari pada manjatin kamu, Bi."

Mario berdiri dia tertarik untuk melihat Aika yang katanya sedang memanjat pohon.

"Apa benar, kamu tidak menyentuh Aika?" tanya Surya pada anaknya. "Ayah memintamu mempertahankannya dengan jaminan restoranmu. Tapi, kalau kamu memang tidak mau menyentuhnya, kembalikan pada orang tuanya. Dan kamu pun sama, kembali bekerja dengan Papa."

"Tapi, Pa!" Arbie jelas saja tidak mau merelakan restoran yang dia bangun dari nol itu.

"Buat anak! Kalau kau mau diakui sebagai anak Papa!" pungkas Surya.

"Mama, pastikan anakmu ini, melakukan kewajibannya sebagai seorang suami untuk menantumu, jangan dikekang terus."

Surya mengeluarkan black card dari sakunya. "Ini berikan pada Aika, kompensasi karena sudah terluka batin karena ulahmu!"

Surya berdiri setelah menghabiskan kopi buatan Aika. "Katakan padanya, kopi Papa menjadi sedikit pahit akhir-akhir ini," ucapnya pada Ratna.

Pengantin Cadangan 2Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin