21. Kehamilan Aika

105 7 8
                                    

Mata Mario tak bisa lepas dari orang yang sedang berdiri di depannya. Dia wira-wiri sendirian menyiapkan sarapan untuk semua penghuni rumah. Rambut pendeknya bergoyang pelan mengikuti gerak tubuhnya yang teratur. Dia membuatkan roti lapis dengan isian telur dan sosis. Roti tawar tanpa pinggiran ditaruh di atas kocokan telur yang baru saja disiram ke atas teflon panas. Sosis dipotong memanjang dan tipis diletakkan di atas roti. Tangannya bergerak cepat menerbangkan roti itu dan mendarat kembali ke teflon dengan sempurna.

Segelas susu hangat, segelas kopi, jus buah sehat dan juga roti lapis berisi sayuran ada di atas meja. Dia meletakkan semuanya di atas meja. Ambil sendiri, pesannya sebelum mengangkat nampan berisi roti lapis telur dan susu cokelat hangat.

"Kau mau ke mana, Bi? Mana Aika?" Mario mengambil rotinya di atas meja. 

"Kamu ini, taruh di depan Mama, dong, jauh banget naruhnya," protes Ratna yang harus mengitari meja makan untuk mengambil jus buah keramatnya.

"Kalian semua sudah tua, bisa ambil sendiri," katanya sambil lalu.

Ratna dan Mario melirik sinis ke Arbie. "Kok, adikmu sekarang jadi aneh, Mar!" tanya Ratna kesal.

"Biarkan saja, biarkan dia melayani istrinya sekali-kali. Memang, cuma Mama aja yang mau disayang, Aika juga kan butuh dimanja suaminya?" kata Surya.

"Dia kan cuma menantu di keluarga ini, Pa, harusnya melayani mertua dengan sepenuh hati," sanggah Ratna lagi.

"Pada ke mana semua asisten pribadi Mama? Pembantu banyak, kenapa masih ngeribetin Aika. Katanya dia harus punya bayi, ya harus banyak diem gak boleh ngerjain yang berat-berat."

"Papa belain Aika terus!" Ratna mulai sewot dengan semua pembelaan suaminya pada Aika.

"Di rumah ini, nggak ada anak perempuan, punya satu seperti Aika udah seperti punya sepuluh, saking semua bisa dia kerjakan, cuma satu yang gak bisa." Surya menyeruput kopinya, memberi jeda sebelum dia melanjutkan perkataannya. "Mengambil hati Mama," katanya sambil meletakkan kopinya.

"Mario, ambilkan gula," titahnya pada putra pertamanya. "Benar-benar itu anak!" ucapnya kesal sambil mengaduk gula di dalam kopinya. "Progres pembangunannya gimana, Mar?" Kini Surya menatap lurus ke arah Mario.

"Sudah 70%, Pa. Paling empat bulan lagi jadi."

"Hm, oke." Surya kembali menyeruput kopinya, dia meletakkan tablet yang dia baca sejak tadi. "Papa pergi dulu," katanya pelan.

Surya berdiri dan beranjak pergi diikuti ekor mata Ratna dan Mario. "Tumben-tumbenan itu Papa belain Aika, biasanya cuek-cuek aja. Papa kamu tu ya, udah mulai puber lagi! Diapain tu ama Aika sampek jadi belain dia. Heran, deh!"

"Mama... Mama... Aika kan mantu, adik aku, Mama gak boleh kayak gitu!" bela Mario. Dia beranjak dari duduknya, bersiap untuk berangkat bekerja. "Mario berangkat kerja dulu, Ma."

"Heh, kurang ajar kamu, masih aja belain Aika!"

"Aika masih lebih baik dari wanita yang Mama kenalin tadi malem. Mario geli liat penampilannya, belum apa-apa aja udah diumbar-umbar, Ma. Mama cari yang lain aja, ya."

Ratna mendengus kesal, dia menenggak habis jusnya lalu ikut beranjak dari duduknya. Dia mengambil ponsel untuk menghubungi Aluna. "Luna, siang ini, pastikan Mario datang untuk kencan buta, awas aja kalau kamu nggak bawa dia, kamu yang saya pecat!" ancamnya di telepon.

Wanita paruh baya itu pun meninggalkan ruang makan dan berjalan menuju kamarnya, dia bertemu dengan anak laki-lakinya yang baru saja mengantarkan makanan untuk istrinya.

"Heh, Arbie, kamu ini, kenapa istrimu makan di kamar? Sakit apa dia, sampai nggak bisa jalan sendiri ke bawa ambil makanan? Punya mantu, kok, bolak-balik sakit. Kamu itu kalau pilih istri yang bener!" katanya sewot.

"Aika sakit perut, Ma." Arbie hanya mengatakan itu tanpa menoleh pada ibunya.

"Heh, anak kurang ajar!"

"Arbie mau bawa Aika ke Villa aja, Ma."

"Kenapa kamu bawa ke sana, bukannya di sana belum ada penghangat ruangan?"

"Kan katanya suruh bikin bayi, gimana, sih!"

Ratna mengomel sambil terus berjalan ke kamarnya, kesal sekali hatinya. Hari ini, semua orang lebih memperhatikan Aika daripada dirinya. Wanita paruh baya itu pun akhirnya meratapi harinya yang suram dengan suara kuat yang memenuhi seluruh penjuru rumah.

Lift terbuka, Aika keluar dengan membawa koper besar berwarna silver. Dia menghampiri suaminya yang sedang berdiri di dekat meja makan, memunguti piring dan gelas.

"Loh, pada ke mana semua orang, Mas? Udahan sarapannya?" tanya Aika. Dia ikut membersihkan dapur bersama suaminya.

"Sudah, duduk saja, biar aku aja yang beresin," cegah Arbie.

"Mas bilang apa ke mereka?" tanya Aika penasaran. Pasalnya, Arbie melarangnya untuk mengabarkan berita kehamilannya itu. Tak ada satu orang pun yang boleh diberi tahu, termasuk keluarga besar Aika sendiri. Aika heran, pada sikap Arbie, air muka laki-laki itu tidak berubah, hanya gesture tubuhnya yang biasa dingin, kini berubah perhatian.

Dia dilarang membuat sarapan untuk semua orang mulai sekarang, dia juga meminta Aika berkemas agar mereka bisa tinggal di Villa yang ada di sebelah restorannya.

"Mas, kenapa hari ini semangat banget?" tanya Aika sambil menopang dagunya. Dia memandangi suaminya yang sibuk di dapur sendirian. Sebuah keajaiban alam telah terjadi, Arbie yang biasanya hanya sibuk di dapur restoran, kini juga sibuk di dapur rumah ibunya.

"Mas," panggil Aika lagi.

"Duh, Adeeeen, sini biar Mbak aja yang beresin." Seorang pembantu rumah tangga akhirnya datang sambil berlari tergopoh-gopoh.

"Kok tumben sendirian, Mbak?" tanya Aika pada pembantunya itu. "Yang kain pada ke mana?"

"Oh, dipecatin semua sama ibu. Saya jadi pusing, karena kerjaan jadi banyak bange sekarang."

Arbie melirik ke arah Aika, "jangan bilang kamu mau tetap di sini, sayang, buat mama, pembantu datang dan pergi itu hal biasa, paling besok, semua disuruh balik kerja lagi."

Aika tak bisa berkata-kata. Dia harus mengikuti kata suaminya yang menginginkan dia tinggal berdua saja.

Di Villa juga sama, sikap Arbie tak berubah, dia melarang Aika melakukan pekerjaan berat. Semua pekerjaan dia kerjakan sendirian, Aika hanya rebahan sepanjang hari sampai kepalanya pusing.

Dia bosan hanya menonton film sendirian. Dia berpikir, mungkin menggoda suaminya di restoran akan terasa lebih menyenangkan. Dengan langkah gontai, Aika berjalan ke restoran. Restoran itu riuh, semua orang bersorak bahagia. Aika hanya melihatnya dari kejauhan, dia tersenyum melihat suaminya tertawa bersama pelanggannya.

"Dasar laki-laki," gumamnya pelan.

"Aikaaaaa! Hei Tupaaai!" Sebuah mobil mendekatinya. Laki-laki di dalam mobil itu pun melambaikan tangan sambil membunyikan klaksonnya.

"Tupaaai!" teriaknya lagi.

"Dasar anemon!" Aika geram dipanggil tupai oleh abang iparnya itu. Laki-laki berwajah oriental itu pun menghentikan mobilnya dan tersenyum ke arah Aika.

"Cieee, selamat ya," katanya.

"Selamat apa?"

"Selamat atas kehamilanmu. Arbie yang telpon tadi. Dia seneng banget tu, sampek posting test pack segala di sosmed." Ryu tertawa geli mengatakannya.

"Astaga! Dia melarangku bilang-bilang. Kok, malah dia yang heboh sendirian?"

"Mau main ke rumah gak? Tu Aira di rumah gak ada temennya. Kalau mau, ikut aku sekalian, yuk?"

"Hm, boleh jugak!"

"Aikaaaaa! Mau ke mana?!" teriak Arbie dari dalam restoran.

"Sebelum dia marah-marah, mending Abang pergi aja, deh!"
.

Pengantin Cadangan 2Where stories live. Discover now