31. Anak kedua

78 4 0
                                    

Aika menarik selimut untuk menutupi tubuh bayi mungilnya, Angkasa dan Arunika. Keduanya baru saja berhasil dia tidurkan setelah seharian bermain bersama neneknya, Bu Ratna. Mereka tinggal di rumah orang tua Arbie karena Ratna yang memintanya. Katanya, beliau ingin bermain bersama anak-anak Aika. Dia juga rindu jus buatan Aika. Rindu melihat mantunya itu berjalan ke sana ke mari.

"Sudah tidur, Beb? Sekarang giliran, Mas, 'kan?" bisik yang tengah memeluknya dari belakang. Dia mengecup pipi istrinya lembut. Kerlingan matanya membuat Aika geli. Arbie mengajaknya duduk di sofa. Dia menghidupkan televisi untuk menonton film kegemarannya.

"Maaaaas, aku capek!" Aika langsung merebahkan diri di pangkuan suaminya. Kepalanya menengadah melihat wajah Arbie. Laki-laki beranak dua itu pun tersenyum lebar. "Mas, pijitin, dong!" Aika merengek sambil menunjukkan tangannya. 

"Udah enam bulan aja ya, gak kerasa."

Aika menyipitkan matanya. Bisa-bisanya Arbie mengatakan tidak berasa. Padahal, dia sendirian yang pontang-panting berlarian mengejar asi untuk anak-anaknya. Ratna ingin bermain bersama Arunika, Ibunya ingin bermain bersama Angkasa. Akhirnya, dia pun harus membagi asi yang diperahnya kepada keduanya. 

Belum lagi, saat salah satunya menangis tak karu-karuan, dia juga yang harus lari untuk menenangkan anak-anaknya. "Bisa gak sih, biar aku aja yang ngasuh!" Hal itu dikabulkan oleh keduanya. Namun, dengan catatan Atiqah dan Ratna ada di rumah Aika. Mereka berdebat banyak hal, sampai membuat kepalanya sakit mendengar 

Belum lagi Arbie yang semakin hari semakin sibuk dengan pekerjaannya. Restoran semakin ramai, sampai daftar antrian panjang pun tak terelakkan. 

Dan drama bayi kembar yang rewel ketika malam hari. Aika tak tega mendengar tangis mereka berdua. Kadang dia panik sendiri dengan tangisan itu. Namun, Aira selalu datang untuk membantu. Walau dia juga kerepotan dengan bayinya sendiri. Dia tidak tega melihat Aika kerepotan. 

"Ai, kamu tidur?" 

Arbie mengusik hidung istrinya. "Sayang, bangun, dong."

"Apa, Mas?"

"Mas udah ready, tapi Aika lemes gini?" 

"Lanjut aja, Aika pasrah," katanya setengah terpejam. 

"Sayang, mana enak kalau kamunya merem gitu, bangun dong, pliis." 

Aika bergeming, dia terlelap begitu cepat tanpa sempat membalas kecupan suaminya. Dia pun terlelap seperti bayi.

Wajah Arbie muram pagi ini, dia memperhatikan istrinya yang pagi-pagi sekali sudah memandikan bayi-bayinya seorang diri, Dia mendadani anak kembarnya dengan pakaian baru pemberian Ratna. 

Membayangkan wajah Ratna yang muram karena tidak dituruti maunya sudah membuatnya ngeri sendiri. 

"Mas bantuin sini," kata Arbie menawarkan bantuan. 

Aika langsung mengangkat Angkasa dan meletakkannya di dekat suaminya. Dengan sigap Arbie pun memakaikan baju anaknya.

"Angkasa, sini sama Papa."

Seseorang mengetuk pintu kamar Arbie. "Bie, mana Angkasa biar kakek gendong." 

Aika dan Arbie berpandangan, mereka tersenyum kecil. 

"Sebentar, Pa." Arbie membukakan pintu untuk ayahnya itu. Surya tersenyum manis menatap bayi mungil yang ada di atas tempat tidur. 

"Runi mana?" tanya Surya. 

"Ada Pa, masih dimandiin ama mamahnya."

Aika keluar dari kamar mandi dengan bayi yang masih dibungkus handuk. "Sini, biar Papa yang pakein baju. Gini-gini, Papa dulu juga sering pakein bajunya Arbie."

"Mas Arbie mirip siapa, Pa?" tanya Aika penasaran. Dia menyodorkan sebuah krim untuk ruam yang ada di paha Angkasa. 

"Arbie itu, mirip banget ne, ama Angkasa. Nanti kaita liat bareng-bareng fotonya pas masih kecil ya?" kata Surya. 

Tak lama, Ratna datang, dia langsung masuk dan mengendong Aruni yang belum memakai apa-apa. "Duh, kamu ini, ini anaknya dipakein baju, dong. Jangan dibiarin begini, duh, gimana, sih!" 

Aika menghela napas kuat di depan semua orang, Ratna langsung berpaling, sadar ucapannya sedikit kelewatan. 

"Iya, Mama aja ya, yang pakein, Aika mau sikat kamar mandi dulu."

Nggak, kamu ganti baju, turun dan buatin jus buat saya." Aika langsung mengganguk dan berjalan ke arah kamar mandi untuk berganti pakaian. Langkah Aika diikuti Arbie. "Sayang, kamu nggak marah 'kan?" tanyanya lembut. 

"Hm, nggak, kok."

.

Aika menatap dapur ibu mertuanya yang sedikit berbeda. Dia tidak melihat ada slow juicer yang biasanya ada di atas meja dapur. Ratna paham arti tatapan Aika. Dia pun mendekat dan menunjuk sebuah box yang ada di pojok dapur. 

"Yang lama rusak," katanya santai. Dia masih sibuk menimang Angkasa yang baru saja mandi. Dan Aruni didekap kakeknya dengan lembut. 

"Siini biar aku yang angkat." Edward langsung maju dan mengangkat kardus itu dan meletakkannya di atas meja. "Kamu nggak bilang makasih, ama aku?"

"Makasih, Om." Arbie menepuk pundak Edward, dia pun menggantikan Aika membuka kardus itu. 

"Emang yang lama ke mana, Ma?" tanyanya pada ibunya. 

"Oh, jatuh. Itu Aluna lagi mesra-mesraan di dapur ama Mario terus gak sengaja nyengol. Jadi, deh, dibeliin yang baru itu ama Mario." Jawaban Ratna membuat Aika menahan tawanya. Dia pun mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Pasalnya, orang yang baru saja disindir Ratna ada di depannya.

"Apa kau terkejut? Kami lebih panas daripada pernikahanmu, Aika?" tanya Mario dengan wajah serius. 

"Aika tahu rasanya. Emang gak enak disindir terus, semangat ya, Bang." Aika mencoba menyemangati Mario. Sudah sekian lama mereka menikah, belum ada tanda-tanda kehamilan pada Aluna. Wanita cantik itu masih terlihat langsing dengan nafsu makan biasa. Wajahnya juga masih datar-datar saja seperti biasa. 

"Itu istrimu, sekali-kali disuruh senyum, dong, Mar. Serem ih liatnya," keluh Ratna. 

"Justru kalau dia senyum itu serem, Ma."

Aluna melirik tajam ke arah suaminya, dia mengacungkan pisau ke arah Mario. 

Laki-laki yang tengah menyeruput kopi buatan istrinya langsung menegang. Dia menelan kopinya kasar. 

"Aaaah panas!" Mario berdiri, dia mencari air dingin. Alih-alih mendapatkan air dingin, dia malah mendapatkan wajah dingin Aluna.

Tawa pun memenuhi pagi hari yang begitu ceria itu. Dan hal paling ajaib telah terjadi, Aluna ikut tertawa. Dia begelayut di lengan Mario. "Jangan takut, aku tidak akan mencincangmu hari ini. Masih ada hari lain yang bisa kita jadwalkan untuk melakukan itu."

"Luuuuun!"

...

Namun, pagi yang cerah ceria itu, rupanya tidak menjadikan Arbie ikut tersenyum. Dia tidak bisa membawa Aika ke restorannya, ibunya ingin berbincang lebih lama dengan menantunya itu. 

"Matahari hari ini tu, cerah, loh, Bi. Kenapa suram aja itu mukak?" tanya Guntur. Dia berdiri di sebelah bosnya itu. "Apa kalian akhirnya berantem lagi?" tanyanya penasaran. 

"Nggak, kok, biasanya aku bisa lihat Angkasa dan Aruni di depan mataku, sekarang harus pulang ke rumah dulu," sahut Arbie memberi alasan. 

"Aku tahu, bukan itu masalahnya," kata Guntur lagi. 

Arbie menoleh ke arah sahabatnya itu. "Jangan cari gara-gara, deh!"  kata Arbie menepuk pundak Guntur. 

"Kau kangen istrimu kan?"

Pengantin Cadangan 2Where stories live. Discover now