41. Kebohongan atau kebenaran

112 6 1
                                    

"Aku punya suami yang ganteng dan rupawan, sudah semestinya banyak yang mengejar. Aika bisa apa kalau memang begitu keadaannya?" Aika mengelap meja, dia masih menghindari pandangan mata suaminya. 

Tangannya sigap membersihkan semuanya seorang diri. Arbie sabar menanti istrinya mau berbicara padanya. Pasalnya, jika hal ini berlarut-larut, dia khawatir, Aika akan melakukan hal nekat. 

"Mas dan Raisa gak ada hubungan apa-apa, Ka."

"Oh, Raisa, toh, namanya." Aika meremas lap yang ada di tangannya sampai buku jarinya putih. Dia menahan sesak yang ada di dadanya. Dia tak ingin tahu, tak ingin marah, dan mencoba memakluminya seperti yang sudah-sudah, tetapi kali ini semua terasa begitu perih. 

Terlebih, wanita gila yang baru saja mengacaukan jam sarapan mereka mengaku main gila dengan suaminya. Hati wanita mana yang tidak terluka mendengar hal seperti itu. 

"Aika, dengerin, Mas?"

"Kita ke kamar aja ya," katanya pada suaminya. Dia meminta baby sitter yang sedang menjaga anak-anaknya, membawa kedua bayi itu ke tempat lain. Arbie menarik tangan Aika lembut dan membawanya ke kamar mereka. Jantung Arbie berdetak kencang, dia takut Aika akan menyerangnya dengan kata-kata menyakitkan seperti yang sudah-sudah. Jika hanya ditampar atau dipukul, itu hal yang biasa baginya. Namun, jika sudah didiamkan Aika, itu kiamat buatnya. 

Laki-laki berpenampilan parlente itu masih tak mau melepaskan gengaman tangannya yang dingin. Tangan Aika sedikit bergetar karena menahan amarah di dalam dadanya. 

Pintu kamar ditutup rapat, tinggalah sepasang suami dan istri duduk berdua di sofa yang ada di sudut kamar mereka. Aika masih bungkam, dia tidak ingin bertanya. Sementara Arbie, juga sama, dia diam sambil merangkai kata-kata yang paling pas untuk istrinya itu.

Ketegangan dan kecanggungan itu berlangsung beberapa menit. Arbie melepas jaketnya, dia meraih jemari istrinya. 

"Mas, sikap orang, tidak mungkin bisa langsung berubah begitu saja. Pasti ada sebab yang membuatnya begitu. Bisa Mas, katakan padaku apa yang membuatmu tidak pulang dua hari lalu?"

Arbie bersimpuh di hadapan istrinya. 

Aika menarik napasnya dalam-dalam. 

"Kalau kau mau, kau bisa menamparku, Ka."

Aika tertawa getir, dia mendesah pelan, dan memalingkan wajahnya. Sudut bibitnya terangkat sedikit. Dia menyakini, suaminya sudah melakukan tindakan bejat yang membuat wanita itu nekat. 

"Kau boleh membunuhku, Ka."

"Buat apa? Tak ada mantan ayah atau ibu."

Perkataan itu membuat Arbie menengadah, dia menatap lurus ke wajah istrinya yang datar-datar saja. Petaka sudah di depan mata. Wajah datar ini akan berlangsung lama, dan akan sangat menyiksa. 

Aika meraih kerah kemeja suaminya, dia memungut dasi yang tadi diletakkan Arbie di atas meja. Pelan sekali Aika memakaikan dasi, tetapi hal itu membuat jakun laki-laki yang masih terikat pernikahan dengan Aika Ahmad itu, naik turun. 

Detak jantungnya pun mulai tak aman, keringat jagung mulai membasahi dahinya. Aika selesai merapikan dasi suaminya. 

"Selingkuh itu, ibarat penyakit, dia akan kambuh, bagaimanapun caranya. Pasti akan ada jalan, untuk mengenyam kembali jiwa-jiwa resah itu lagi."

Aika hanya berkata itu, dia pun berdiri bersiap meninggalkan Arbie sendirian di kamarnya. Namun, baru saja Aika ingin melangkah keluar, tiba-tiba saja perutnya terasa begitu kencang. 

Arbie langsung berdiri, dia pun memapah istrinya itu ke tempat tidur. 

"Astaga, Aika? Apa kau baik-baik saja?" Tangan Arbie mengusap perut istrinya itu kuat-kuat. "Aika kamu kenapa? Bilang aku harus apa sekarang? Apa aku butuh menelepon seseorang?" 

Aika tak menjawab, dia hanya mengerang kesakitan. 

Arbie mengusap perut istrinya lebih cepat sambil mengajak janin di dalam perut istrinya itu menurutinya. "Dedek utun, kasian Mama kamu, Nak. Udah, Nak, kasian Mama, Nak."

Arbie tak berhenti mengelus perut Aika sampai perutnya tidak kaku lagi. Laki-laki itu mendesah lega. "Kita ke dokter sekarang, aku nggak mau terjadi sesuatu pada anak kita."

"Bukannya kau ingin anak ini gugur?"

"Apa kau tak lihat wajah panikku barusan? Bisa nggak sih, nggak sok kejam gitu?" 

Ratna pun masuk ke kamar Aika, dia melihat Aika yang terbaring lemah di tempat tidur. Dia menghampiri keduanya yang masih saja berdebat perihal janin yang ada di dalam perut Aika, apakah harus dipertahankan, atau digugurkan saja. 

"Arbie!" bentaknya. "Katakan pada Mama, siapa wanita itu? Ke mana kamu selama dua hari kemarin? Jelasin ke Mama, sekarang!"

"Ma, dia bukan siapa-siapa...." Arbie menghampiri ibunya dan meraih tangan ibunya. "Apa Mama juga gak percaya ama Arbie?"

Anak dan ibu itu pun mulai berdebat, Aika menutup kupingnya rapat-rapat dengan bantal. Dia tidak ingin mendengarnya, dia tidak ingin peduli dengan semua itu. 

...

Hari berganti, seakan tidak ada yang terjadi pada keluaga itu. Kesadaran Mario membuat semua orang melupakan masalah Arbie sejenak. Semua orang pun mulai berdatangan ke rumah sakit, kecuali Aika. Dia harus di rumah, menjaga bayi-bayinya. 

Pagi hari yang biasa disibukkan dengan membuat sarapan untuk semua orang, kini dia hanya membuat sarapan untuk dirinya sendiri dan anak-anaknya. Aika bahkan hanya memutar sendok di dalam mangkuk berisi sereal tanpa bersuara. Dia mengabaikan dua anaknya yang sedang diurus babysitternya. 

Seorang laki-laki pun datang dan berdiri di depannya. Dia meraih gelas di atas meja dan menuangkan air ke dalam gelas yang dia pegang. Mata mereka berpapasan, tetapi Aika bergeming. 

"Kau baik-baik saja? Kenapa wajahmu muram? Bukannya itu tidak baik untuk kesehatan janinmu?" tanyanya penuh perhatian. 

"Apa yang membawamu ke sini, Ed? Bukannya mereka pasti membutuhkan kamu di sana?"

"Aku lelah, setelah terjaga semalaman. Aku ingin tidur sebentar, sebelum sore nanti mereka mencariku."

"Apa nggak capek jadi kamu. Ed?" tanya Aika pelan. 

Edward hanya tersenyum kecil. "Mana ada pekerjaan di muka bumi ini yang tidak melelahkan. Apalagi menjadi kamu, Ka. Ibu rumah tangga yang mengurus semua orang. Pikirkan saja dirimu dulu, Ka. Baru kau pikirkan orang lain."

"Apa itu tidak terlalu egois?" 

"Tidak ada yang egois, Ka. Justru, kalau kau harus terus bertahan agar semua orang senang, ujungnya kau akan sakit sendirian."

"Aku senang punya abang sepertimu, Ed. Apa kau ingin aku buatkan kopi?"

"Tidak perlu repot-repot Tuan Putri," sahut Edward sambil tersenyum.

Edward berjalan ke arah kamarnya di paviliun yang disediakan untuknya dan para sekuriti lainnya. DIa hanya seorang sekertaris, asisten pribadi, atau supir di keluarga ini. Walau sudah memohon untuk berhenti, Ratna dan Surya tidak pernah mengizinkannya. 

"Ed, apa kau bisa mengecek latar belakang seseorang?" tanya Aika tiba-tiba. 

Laki-laki itu pun berbalik arah dan mendekati Aika. "Apa yang terjadi? Apa aku melewatkan sesuatu saat aku pergi, Aika?"

"Aku ingin tahu, ke mana suamiku pergi sampai tidak pulang waktu itu."









Pengantin Cadangan 2Where stories live. Discover now