43

55 9 10
                                    

🌵
🌵
🌵
Happy Reading
🌵
🌵
🌵

..................

Lenguhan lemah keluar dari birai bibirnya, ketika mata itu perlahan membuka—mengerjap pelan menyamakan sinar cahaya di ruangan. Kepalanya terasa pusing. Bahkan, untuk bergerak saja rasanya sangat sulit.

Gadis itu menatap sekeliling ruangan dengan pandangan kosong. Dengan gerakan lambat, Adelia menyenderkan punggungnya ke Headboard bed meski sedikit kesusahan–akibat tubuhnya yang masih terasa berat. Gadis itu teringat. Terakhir kali yang terjadi, saat ia dengan suka rela menerjunkan tubuhnya ke permukaan kolam sesuai dengan instruksi dari ayahnya.

Adelia menatap jarum infus yang terlihat jelas di tangannya, dengan sekali tarikan—darah langsung menetes hingga mengotori lantai ruang rawatnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Adelia menatap jarum infus yang terlihat jelas di tangannya, dengan sekali tarikan—darah langsung menetes hingga mengotori lantai ruang rawatnya. Lalu, gadis itu turun berjalan tertatih menuju kamar mandi yang terletak di sisi kanan dari tempat tidur. Adelia tampak berdiri di depan wastafel–menatap ngeri seluruh wajahnya. Dengan keadaan kepala sudah dibaluti perban, lebam kebiruan dimana-mana, bekas jahitan di rahang yang sudah mulai mengering. Sungguh memilukan.

Gadis itu hanya bergeming, ketika melihat pantulan dirinya di dalam kaca. Tidak ada ekspresi. Hanya tatapan datar dan dingin yang ia perlihatkan.

Dasar anak kurang ajar! Kamu harus mati, sialan!

Kata-kata itu masih terekam dengan begitu jelas di dalam kepalanya—berputar bak sebuah kaset rusak yang dipaksa untuk berbunyi. Adelia tidak bisa membenarkan jika keadaannya sedang baik-baik saja. Apa pun yang sudah terjadi begitu melampaui batasan. Bahkan, hati yang Tuhan kasih untuknya tidak bisa menampung rasa sakit yang dirasakan.

"Masih hidup?" Adelia melemparkan pertanyaan untuk dirinya dengan nada begitu datar. "Kenapa ngga mati aja, nyusahin."

Beberapa detik kemudian. Gadis itu meluruh ke lantai, membenamkan wajahnya pada tekukan kaki dengan kedua tangan menutupi telinga. "Adel belum mau mati, Ayah," ucapnya dengan buliran air mata yang terus menetes.

"Syakira?" panggil seseorang

Gadis itu tersentak, berusaha menghentikan tangisnya. Adelia rasa mendengar sesuatu, suara yang sudah lama tidak pernah ia dengar. Benar. Ini suara Karina. Panggilan itu—panggilan kesayangan bundanya. "B--Bunda," ucap gadis itu masih dengan posisi menunduk.

"Iya. Ini Bunda, Sayang,"

Adelia sontak mendongak–melihat bayangan seorang wanita yang sedang bersimpuh di hadapannya. Pupil mata gadis itu menyorot pedih. Wajah yang selalu ia rindukan setiap malam.

"Hai, Sayang,"

Gadis itu hanya diam mematung.

"Kangen dengan Bunda, ngga?" tangan Karina dengan ringan mengelus lembut surai hitam anaknya–penuh kasih sayang.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 14 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ADELIAWhere stories live. Discover now