31

152 70 69
                                    




Happy Reading gaess



☘️☘️☘️

Diruang yang sunyi, hanya terdengar suara dentingan jarum jam yang berdetak—aroma khas lavender yang menyeruak masuk di indera penciuman gadis cantik si pemeluk luka.

Gadis itu sedang berada dibalkon kamarnya. Menatap langit yang sudah mulai gelap—bulan dan bintang sedang bercumbu mengiringi suasana malam yang sepi—dengan ditemani satu cangkir susu coklat panas akan membuat suasana menjadi lebih nikmat.

"Kenapa ayah belum pulang ya?" monolog gadis itu, seraya mengayun-ayunkan kakinya di atas balkon—matanya terus menatap pagar besar rumahnya.

Beberapa menit kemudian, terlihat dua lampu besar yang menyorot kearah pagar rumahnya—diiringi dengan suara gesekan besi yang terdengar nyaring ditelinga.

"Sepertinya itu ayah," gadis itu segera berlari meninggalkan perkarangan balkonnya—ia sudah tidak sabar memberitahu ayahnya mengenai lomba yang akan diikutinya dalam waktu tiga hari lagi.

Bastian baru saja masuk ke dalam rumah dengan tampilan yang cukup berantakan—tidak tahu apa yang dilakukan pria paruh baya itu diluar sana.

"Ayah,"panggil gadis itu

Panggilan itu sontak membuat kaki Bastian berhenti. "Ada apa?" tanya pria itu

Gadis itu langsung memberikan satu amplop kertas, berukuran kecil pada ayahnya. "Ini ada undangan Yah. Ini perwakilan orang tua yang boleh datang di salah satu lomba olimpiade kimia tahun ini," ujar Adelia dengan wajah penuh harapan

Bastian hanya melirik kearah amplop itu, lalu terkekeh miris. "Untuk apa saya datang kesana, kalo pada akhirnya kamu juga tetap kalah,"

"Kamu itu tidak sepintar Andira, kamu itu hanya manusia bodoh yang selalu menyusahkan saya," ucapan itu begitu sakit, bagaikan ribuan belati yang menusuk ke tubuhnya.

"Kenapa ayah bicara seperti itu? Padahal Adel cuma minta waktu ayah sebentar, bukan uang ayah,"

"Karena waktu saya terlalu berharga, jadi jangan pernah berusaha meminta saya datang ke acara seperti itu,"

"Ayah. Kali ini Adel mohon. Ayah mau ya? Datang diacara itu. Adel janji akan berusaha sebisa mungkin buat menang," ujar gadis itu meraih tangan Bastian.

"Jangan paksa saya!" Pria itu langsung menghentakkan tangan Adelia, hingga membuat pegangan gadis itu pun terlepas.

"Apa susahnya sih, bagi waktu ayah buat Adel! Adel juga anak ayah! Bukan cuma Andira yang butuh ayah. Tapi, Adel juga butuh yah,"

"Sudah sepuluh tahun ayah menghukum Adel seperti ini, apa semua ini belum cukup?" Adelia memejamkan matanya sejenak, berusaha meredam amarah yang membara dalam dirinya.

"KAMU ITU HANYA SEORANG PEMBUNUH DAN PEMBAWA SIAL YANG HADIR DI KELUARGA SAYA!"

"BUKAN GUE YANG BUNUH BUNDA TAP—,"

Plakk

Teriakan gadis itu seketika berhenti, karena tamparan yang begitu keras dari sang ayah. Tanda merah terlihat membekas di pipinya.

Mata gadis itu bahkan ikut memerah, seperti ada darah yang menggumpal di sudut bola matanya. Adelia berusaha mati-matian agar cairan bening itu tidak kembali luruh dari matanya. Tetapi,  usahanya nihil. Karena, detik itu juga tangisnya pecah begitu saja.

Rasanya begitu sakit, bukan karena tamparannya—melainkan tatapan mata ayahnya yang tersirat akan kebencian padanya.

"Masuk ke kamar kamu sekarang!"

ADELIAWhere stories live. Discover now