33

157 68 81
                                    





Happy Reading




🌻🌻🌻🌻

Cambukan berkali-kali mendarat pada punggung gadis itu—jerit kesakitan terus menggema dalam ruangan tersebut. tubuhnya yang sudah terkulai lemah seakan tidak membawa kesadaran pria itu kembali. Benda keras dan panjang tidak ada henti-hentinya menyentuh tubuh gadis itu—meninggalkan bekas luka yang teramat sakit, sudah terhitung sepuluh menit berlalu.

Air mata gadis itu terus mengalir—bagaimana luka yang ia dapatkan bukanlah sesuatu penderitaan yang harus di sesali, Itu semua sudah jadi tulisannya.

Tangan yang sudah penuh gemetar itu, sontak bergerak perlahan—menahan benda yang akan kembali mendarat ke punggungnya. "Sakit Ayah. Cukup. Adel ngga kuat." Gadis itu berkata dengan lirih—kemudian, memuntahkan cairan darah segar yang keluar dari mulutnya.

"Dasar anak kurang ajar! Kamu harus saya hukum lebih dari ini! Kamu sudah mempermalukan saya diluar sana! Lebih baik kamu mati hari ini juga!!" Teriak Bastian—menarik cambuk dari tangan gadis itu

"Tuan Bastian." teriak mbok Juminten dan langsung berlari merengkuh tubuh gadis itu.

"Jangan Tuan! Berhenti menyiksa putri Tuan sendiri!"

"Awas kamu! Saya belum puas menyiksa dia!" Bentak Bastian sambil menyingkirkan tubuh asisten rumah tangganya dari gadis itu

"Jangan lagi Tuan, saya mohon!" Raung Mbok Juminten ikut menangis

"Udah mbok. Biarkan saja dia menyiksa Adel. Lagian juga, tubuh Adel udah penuh dengan luka," ucap Adelia dengan menerjunkan buliran air matanya—mengabaikan rasa sakit di tubuh dan hatinya.

"Jangan Non! Mbok mohon. Mbok ngga kuat lihat Non Adel disiksa begini,"

"Mbok tenang aja, Adel anak yang kuat kok. cambukan dari Ayah ngga bakal bikin Adel mati sekarang," ucap gadis itu, dan masih bisa tersenyum pada mbok Juminten.

"Minggir kamu ...."

Bastian tersenyum tipis—melihat bagaimana gadis itu meraung kesakitan. Tak hanya itu, darah yang terus mengalir dari punggung putri-nya menjadi titik kebahagiaan pria itu.

"Berdiri Adelia!!" Teriakan Bastian menggema di seluruh penjuru rumah dan langsung menarik rambut putri-nya dengan kasar—membenturkan beberapa kali kepala gadis itu, pada dinding rumah tanpa ampun—terlihat tetesan darah terus mengalir dari pelipisnya, hingga menutupi wajah cantik yang tuhan kasih untuknya.

"Tuan cukup, Tuan. Saya mohon!" Jeritan dari mbok Juminten tak mampu membuat pria itu berhenti. Sosok Bastian yang keras,  benar-benar menutup mata hatinya sendiri. Pria itu tidak lagi memiliki belas kasihan pada gadis yang tengah menangis di bawah hukumannya.

"Tuan saya rela bersujud di kaki Tuan. Tetapi, saya mohon berhenti menyiksa putri Tuan sendiri. Kepala Non Adel sudah banyak mengeluarkan darah, Hati saya begitu sesak melihatnya Tuan," mohon mbok Juminten dengan menyatukan kedua tangannya.

"Diam kamu, atau mau saya pecat!" Tegas Bastian

"Jangan Ayah. Adel mohon, jangan pecat mbok,"

"Ayah boleh siksa Adel lagi. Tetapi, jangan pecat mbok Juminten. Adel mohon!"

Gadis itu berusaha berdiri tertatih—mensejajarkan tubuhnya dengan Bastian, tanpa ada rasa takut, ketika dua bola mata cantiknya beradu tajam sama pria itu. "Ayah mau siksa Adel di bagian mana lagi?" tanya gadis itu dengan suara gemetar

"Bunda pasti bahagia, betapa putrinya di jaga dengan baik, di perlakukan layaknya seperti anak, di peluk dan di cium setiap harinya," ucap Adelia, lalu terkekeh samar dengan satu alis menaik keatas.

ADELIAWhere stories live. Discover now