Satu detik ... dua detik ....

Aku menghitung dalam hati.

Tiga detik ... empat detik ....

Karime masih belum memberikan tanggapan, jadi mau tak mau, aku mengembalikan pandanganku ke arahnya, menemukan dirinya tengah menatapku dengan ekspresi sedih yang memuakkan, membuatku dipaksa menelan kepahitan yang mengganjal keras di tenggorokan. Aku tidak sepantasnya berada di sini, dengan segala kehangatan yang dia tawarkan, di saat Karime telah melakukan segala cara—merelakan anaknya pergi, melepaskan kebersamaan mereka—agar gadis 18 tahun yang meninggalkan rumah serta ibunya itu bisa mendapatkan kebahagiaan. Dan aku, satu-satunya orang yang telah merenggut kebahagiaan tersebut.

Aku bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan terjadi seandainya aku tidak ada? Apa yang akan terjadi seandainya aku tidak pernah mengatakan omong kosong semacam itu pada ayahku? Apa yang akan terjadi seandainya aku ikut bersama ibuku pagi itu?

"Dia mengajakku pergi." Diafragmaku terasa menyempit, membuatku harus berusaha keras mengeluarkan kata-kata yang tersisa dari laringku. "Aku ... aku menyuruhnya menghilang."

Karime menghampiriku. Dia mengulurkan tangannya, tetapi aku menepisnya. "Aku mendengar semuanya. Teriakan mereka dan... dan, keheningan itu," Suaraku kian mengecil, merintih seperti hewan kecil sekarat meminta pertolongan.

Aku memejamkan mata, mengusir kabut yang menghalangi pandanganku, yang secara konstan, menyambut bayangan mengenai hari itu. Aku seolah bisa mendengarnya dari sini, setiap kata yang dilontarkan dan barang-barang yang dilemparkan. Perasaan frustrasi, kemarahan, ketakutan dan kepanikan menyerbuku pada saat itu.

"Ayo kita pergi!" katanya ketika dia tiba-tiba muncul di sekolahku dengan jeans usang dan wajah tanpa riasan, yang sudah jarang sekali kulihat semenjak dia menjalin hubungan bersama beberapa pria.

Aku melirik ke belakangnya, ke arah mobil yang terparkir, di mana seorang pria duduk di kursi kemudi, menunggunya—menunggu kami.

"Pergi?" tanyaku mengernyit. Dia tidak mengatakan apa pun. Kami bahkan nyaris tidak berbicara satu sama lain ketika sedang di rumah. Lalu, tiba-tiba saja dia datang ke sekolah, memaksaku harus keluar di tengah pelajaran yang sedang berlangsung, dan mengajakku pergi entah ke mana dengan seseorang yang entah siapa.

"Ya, aku sudah mengemas beberapa barangmu. Kita hanya perlu berangkat sekarang dan—"

"Tunggu!" selaku tidak mengerti. "Apa maksudnya itu?"

Pria itu membunyikan klakson, membuat ibuku menoleh padanya dan menyuruhnya menunggu sebentar.

"Kita tidak punya waktu, ayo!"

Dia menarik lenganku, tetapi aku menangkisnya dengan kasar. "Kau gila!" seruku jengkel. "Aku tidak akan pergi ke manapun."

"Kau harus!" Ada kegelisahan dalam nada suaranya, tetapi aku tidak begitu menggubrisnya karena terlalu kesal. "Aku tidak akan meninggalkanmu bersamanya."

Amarahku seketika menggelegak memikirkan rencananya membawaku kabur dengan kekasihnya, meninggalkan ayahku, memisahkanku dengannya. Hal seperti ini sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku, meskipun aku menyadari bahwa sejak ayahku tinggal bersama kami lagi, hubungan yang berusaha mereka bangun kembali tidak berjalan mulus. Keadaan tak berubah, mereka terlihat canggung satu sama lain seperti orang asing walau keduanya berusaha menutupi, sampai aku melihat ibuku mencium kekasihnya di serambi depan, dan ayahku tidak melakukan apa pun. Dia hanya berjalan melewati mereka, melangkah entah ke mana.

"Kalau kau ingin pergi, pergi sajalah! Aku tidak peduli. Aku akan tetap tinggal di sini bersama Dad."

"Maya, kau tidak mengerti, kau—"

"Kau yang tidak mengerti!" seruku merasa frustrasi menghadapinya. "Kau seharusnya sadar bahwa kau satu-satunya yang harus keluar dari hidup kami," tambahku sembari menunjuknya.

Untuk sejenak, aku merasa jahat telah melontarkan kata-kata tersebut, terutama ketika kulihat keterkejutan yang teramat jelas di raut wajahnya, seolah dia tidak mengira aku akan mengucapkan kalimat seperti itu. Seharusnya, dia sudah menyadari ini sejak lama, bahwa tidak ada lagi yang perlu dipertahankannya. Bahwa, dia telah kehilangan keluarganya.

Lalu, tanpa berlama-lama, aku berbalik meninggalkannya. Dia tidak berusaha menghentikanku, yang membuatku lega karena kami tidak perlu menarik perhatian orang-orang di setiap kelas oleh keributan yang bakalan terjadi, dan karena aku tidak perlu mengikutinya pergi bersama pria asing itu.

Aku mempercepat langkah, nyaris berlari seiring kemarahan mengisi penuh ruang kosong yang tersisa. Aku bejalan menjauh dan menjauh darinya. Dan, alih-alih kembali masuk ke kelas, aku berakhir di Pondok keluarga Wyatt dengan selusin bir di tangan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 06, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Things She Left BehindWhere stories live. Discover now