43. Satu Sama

104 27 27
                                    

"Malu kenapa?"

Tubuh Jimmy membeku.

Suara dari mana itu?

Jimmy benar-benar menahan napas, ketika dirinya merasa mendengar suara seseorang yang selama beberapa hari ini terus dia rindukan.

Asli atau hanya sebatas halusinasinya saja?

"Itu ditanya, kenapa tidak dijawab?" ujar Jeon, sembari menepuk bahu Jimmy.

Jika Jeon bisa mendengar juga, bisa dipastikan, bahwa suara yang Jimmy dengar tadi memang bukan datang dari dunia khayalnya.

"Kurang ajar kau, ya?" Jimmy bergumam, tatapannya nyalang, tertuju pada Jeon. Kepalanya agak menunduk, karena dia pun belum berani menatap ke arah seseorang di belakangnya.

Alih-alih berbalik, Jimmy malah berjalan ke depan. Lebih tepatnya bersembunyi di balik tubuh Jeon.

Astaga, malu sekali dia.

Kepalanya sedang cosplay jadi bakso bulat seperti bola ping-pong. Ini malah harus muncul dengan keadaan sekonyol ini di depan Aera.

"Malu katanya, kepalanya botak." Jeon menyeletuk, enteng sekali mulutnya.

Pundak Jimmy sudah memanas, tangannya juga sudah terkepal. Sejak kapan sepupunya ini jadi songong begitu? Lagipula, Jimmy tak merasa kepalanya sebotak itu. Masih ada rambut. Ya, walau hanya beberapa centimeter saja.

Tapi dia tidak rela jika harus dikatakan botak.

"Memangnya kenapa botak?" Aera juga polos sekali bertanya begitu. Jimmy kan jadi makin malu. "Harus botak ya, kalau tinggal di sini."

Jeon mengedikkan bahunya. "Mungkin, dia sedang ingin mendalami peran. Ingin menjadi tahanan yang sesungguhnya," ucapnya, sembari melirik ke arah pundak Jimmy yang ada di belakangnya.

Sabar.

Sabar.

Hanya kata itu yang terus Jimmy rapalkan dalam hatinya.

"Aku mengganggu, ya?" bisik Aera pada Jeon. Kendati Jimmy juga masih bisa mendengarnya. "Pulang saja kalau begitu. Sepertinya salahku, yang terlalu memaksamu untuk datang kemari."

Well, Jeon bisa mengajak Aera ke Rutan memang karena dipaksa.

Aera sudah merasa lelah dengan overthinkingnya. Dia yang berstatus sebagai ibu menyusui, dilarang stress demi kualitas ASI untuk bayinya.

Tapi jika rasa penasaran terhadap Jimmy belum terjawab, dia akan tetap uring-uringan.

Jadi, alasan itu yang dia buat untuk meluluhkan hati Jeon.

Meski Jeon mewanti-wanti, jika nanti Jimmy marah padanya, Aera harus mau bertanggungjawab. Karena ini memang kemauannya.

Mengetahui bahwa Aera yang memaksa ingin datang kemari, bibir Jimmy spontan terangkat. Dia bahagia, karena itu berarti, selama ini Aera memang memikirkan dirinya juga.

"Ya sudah, ayo." Jeon pun melangkah menuju pintu keluar berbahan besi di hadapannya. Pintu yang hanya ada sebuah celah sebesar telapak tangan untuk mengintip keadaan sekitar.

Aera agak kecewa, Jimmy tak mau menerima kehadirannya. Padahal dirinya dan Jeon sudah bela-belaan menyamar sebagai petugas untuk bisa memiliki akses masuk dengan mudahnya.

"Tunggu!" Jimmy berbalik. Tangannya dengan cepat mengambil topi yang Jeon kenakan. Dia tidak mungkin membiarkan Aera pergi begitu saja. Ini adalah kesempatan baginya untuk memperbaiki hubungan keduanya. "Biarkan dia masuk," lanjutnya, meski belum tahu dia siap bertemu dengan Aera sekarang atau tidak.

Not, My TypeWhere stories live. Discover now