41. Tahanan Tampan

93 26 20
                                    

Jimmy terkekeh tanpa suara, ketika mendengar Jeon yang datang padanya, dan meyakinkan bahwa Aera menunggu kabar darinya.

"Jangan mencoba memberiku harapan dengan omong kosongmu. Dia sendiri saja tidak sekalipun menanyakan keberadaanku, bagaimana bisa kau menyimpulkan bahwa dia menunggu kabar dariku?"

"Tapi akhir-akhir ini dia berubah menjadi lebih pendiam." Jeon berujar sembari mengeluarkan beberapa makanan yang nyonya Anna titipkan.

"Dia diam mungkin karena pikirannya sedang tenang saja, karena tak harus diganggu dengan keberadaanku." Jimmy sadar diri. Dia tidak lupa, perlakuan macam apa yang pernah dia lakukan pada Aera.

Tidak mungkin berekspektasi terlalu jauh, diterima permintaan maafnya oleh Aera saja sudah sebuah keajaiban baginya.

"Croissant, nasi goreng, roti bakar ...," Jeon berusaha menyebutkan apa-apa saja yang sering Aera minta baru-baru ini. "Pokoknya semua makanan yang kau beri, dan kau buat dia mau itu saja. Apa lagi kalau bukan karena dia rindu padamu, walaupun ya ... dengan cara lain mengekspresikannya."

Jimmy menggelengkan kepalanya sembari mengulas senyum tipis. "Jangan menghiburku, aku sedang tidak butuh hiburan," ungkapnya, yang saat ini ingin benar-benar merasakan bagaimana rasanya mendapatkan hukuman. "Dia begitu karena suka makanannya, bukan karena rindu padaku."

Flasback.

“Kau yakin dengan keputusanmu?”

Sudah berulang kali Jimmy mendengar kakeknya bertanya demikian. Dan sudah pasti jawabannya adalah, “Yakin.” Karena, Jimmy tidak ingin menjadi seorang pengecut, yang tak mempertanggungjawabkan apa yang telah dirinya perbuat.

Jimmy tak akan membela diri, perihal dia melakukan kekerasan pada David dengan dalih untuk menyelamatkan seseorang.

Jimmy berjanji akan menganggap apa yang telah dirinya lakukan saat ini adalah hukuman, sebagai pembelajaran dari sikapnya. Tentang emosi yang selalu sulit dia kendalikan. Tentang seberapa banyak orang yang mungkin telah dia sakiti.

Jimmy merasa berhak menerima ganjaran seperti ini, karena dia memang seorang penjahat yang layak masuk bui.

“Kakek pikir, aku ini seorang pecundang? Aku cucumu. Tuan Anderson yang terhormat, yang terkenal adil, dan tak pandang bulu dalam menghukum seseorang yang sekiranya memang salah.”

Tuan Anderson mengangguk, sembari menepuk keras bahu Jimmy. Dia yakin sang kakek setuju dengan keputusannya.

Jimmy bukanlah seseorang yang selalu menggunakan privilege card seenaknya, demi menyelesaikan permasalahan. Hidupnya tanggung jawabnya. Tak bergantung pada siapa orang yang ada di belakangnya.

“Kakek tidak akan menghalangi keputusanmu. Namun jika butuh bantuan, kakek selalu ada untukmu.”

“Bantu jangan ganggu apapun yang aku mau. Itu saja,” Sahut Jimmy yang membuat kakeknya memicingkan mata.

“Memangnya apa yang kau mau?” tanyanya tuan Anderson.

“Aku ingin mendapatkan hukuman yang setimpal dan setara dengan orang lain. Tak ada perlakuan khusus apalagi tempat khusus. Aku ingin menjadi seorang tahanan yang sebenarnya. Aku benar-benar ingin dihukum dengan seadil-adilnya.”

Tuan Anderson tersenyum, merespon perkataan Jimmy, yang seolah tahu niatan sang kakek yang ingin membantu cucunya memuluskan urusannya.

“Baiklah, kau memang cucuku ternyata," ucapnya bangga, sangat sesuai ekspektasi. Jimmy sejak lama memang begini.

“Aku juga butuh seorang psikiater. Aku ingin sembuh lagi, Kek." Raut wajah berwibawa, yang sejak tadi Jimmy pancarkan pudar seketika. Berganti dengan ekspresi muram ketika mengutarakan keinginannya barusan.

Not, My TypeWhere stories live. Discover now