28. Pengikat

118 32 19
                                    

Kalian nggak ke-skip chapter sebelumnya, kan? Soalnya chapter 27 kemarin sempet salah publish, jadi mungkin nggak kebuka sama kalian.

•••

"Kemarilah, Nak," pinta nyonya Anna, mengulurkan tangan. Meminta Jimmy untuk datang ke pelukannya.

Selama beberapa detik, Jimmy masih terpaku. Dia masih mencerna situasi yang baginya cukup sulit untuk dipercaya. Tentang ibunya yang benar-benar berkata seperti tadi pada Aera. Terlebih mengusir perempuan itu dengan tak main-main. Meski caranya memang masih terbilang sopan.

Kendati itu pasti tetap saja menyakiti Aera.

Jimmy melangkah perlahan, mengikuti apa yang ibunya mau. Walau jelas, perhatiannya masih tertuju pada seseorang yang baru saja keluar dari rumahnya.

"Ibu sangat senang kau pulang, Nak." Nyonya Anna berujar tepat ketika Jimmy sudah duduk di sampingnya.

"Kau kenapa? Apa kau tidak senang?" sambungnya bertanya, karena melihat Jimmy yang nampak menatap kosong, tanpa energi. "Semangat, Nak! Bukankah ini yang kau mau? Ibu sudah mengabulkan semua yang kau minta."

Mendengar kalimat tersebut, Jimmy kontan dibuat semakin sulit mengatur perasaannya. Napasnya bahkan langsung tertahan. Tenggorokannya tercekat, sulit sekali mengeluarkan suara.

"Kenapa?" tanya Nyonya Anna lagi.

"Ibu serius?" Jimmy balik bertanya.

"Serius, Sayang. Apa kau begini karena masih meragukan ibu?" Nyonya Anna membalikkan wajah Jimmy agar mau melihat ke arahnya.

"Bukan begitu." Ingin berbicara panjang lebar, tapi entah mengapa, Jimmy merasa lidahnya terlalu kaku. Sebab pikirannya malah berkelana, penasaran dengan bagaimana keadaan Aera. Apalagi dia sama sekali tak mendengar suara kendaraan di luar. Apa Aera pergi berjalan kaki? Atau kemungkinan lainnya wanita itu masih belum beranjak dari sini?

Jimmy harap, kemungkinan kedua adalah jawabannya.

"Istirahatlah kalau begitu, kelihatannya kau sedang lelah." Nyonya Anna mengelus rambut sang putra dengan penuh kasih. "Ibu juga masih sedikit pusing, ibu ingin tidur lagi. Mudah-mudahan besok pagi bisa lebih baik, supaya ibu bisa segera menyelesaikan urusan kita."

"Kita?" Jimmy menaikkan sebelah alisnya.

"Baiklah, maksud ibu urusan ibu. Anak itu 'kan memang tanggung jawab ibu."

Lagi dan lagi, Jimmy merasa dunianya saat ini seakan tidak nyata. Seperti sedang bermimpi saja. Suara ibunya terasa berdengung, di antara kepalanya yang ramai dengan pikiran ini itu.

"Tapi, Bu."

Jimmy ingin kembali menginterupsi, tapi dia pun tidak tahu harus memulai dari mana? Hingga ibunya lebih dulu menyela.

"Istirahat, Jim. Ibu sudah benar-benar mengantuk." Nyonya Anna kembali berbaring, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya hingga sebatas pundak. Matanya kembali memejam, meninggalkan Jimmy dalam keheningan.

Melihat itu, Jimmy pun tanpa berpikir panjang langsung beranjak. Berjalan ke arah Jira yang kini masih terlelap tanpa gangguan.

Hatinya terasa diremas, hingga rasa ngilu perlahan menyebar ke seluruh saraf-saraf yang ada di tubuhnya.

Wajah imut nan polos itu, apakah benar-benar akan meninggalkan rumah ini?

Tinggal di panti asuhan?

Jimmy menjadi sangat tidak tega, walau hanya membayangkannya saja.

Hampir lima belas menit dia menatap Jira dalam diam, lamunannya terdistraksi oleh suara mesin mobil yang sepertinya mulai masuk ke area rumahnya.

Jimmy menebak, itu adalah Jeon.

Not, My TypeWhere stories live. Discover now