27. Ibu, Anak Sama Saja

147 30 30
                                    

Mendengar ibunya sakit, Jimmy sudah pasti tak akan mungkin abai dengan hal tersebut.

Apalagi, mendengar ucapan Jeon yang mengatakan bahwa ibunya terus menanyakan tentang dirinya.

Sebagai anak satu-satunya, Jimmy tidak mau membuat ibunya semakin sedih karena dalam keadaan seperti ini dia masih mengutamakan egonya.

Kini orang tua Jimmy hanya tersisa nyonya Anna saja. Tentu Jimmy tidak akan mau jika kelak dia malah akan menyesali sesuatu.

Tiba di kediamannya, mata Jimmy langsung memicing karena ada mobil Jeon di depan rumahnya. Ya seharusnya dia tak heran, karena Jeon adalah keponakan setianya nyonya Anna. Walaupun tak sedarah. Karena Jeon adalah keponakan dari almarhum ayahnya Jimmy.

Mungkin Jeon rela terus berada di sini karena Jimmy sedang tidak ada.

Rasa bersalah kini benar-benar Jimmy rasakan. Masih beruntung ada keluarga yang mau peduli pada ibunya, sampai rela menemani padahal hari sudah bisa dikatakan larut.

Jimmy tahu betul dia memiliki banyak kerabat, tapi hampir semua anggotanya selalu sibuk dengan bisnis dan kehidupan masing-masing.

Definisi semakin kaya semakin sepi memang tergambar pada keluarga terhormat ini. Adapun yang setia, mereka pasti hanyalah bagian dari pegawai atau orang suruhan.

Selepas membuka pintu, fokus Jimmy kini hanya tertuju pada kamar nyonya Anna bersama Jira yang pernah ditempati Aera.

Jimmy melangkah dengan perlahan ketika melihat pintu kamar tersebut terbuka cukup lebar.

Saat melongok, atensinya tertuju pada sang ibunda yang kini tengah terlelap lengkap dengan selang infus yang tertancap di salah satu lengannya.

"Nyonya baru saja tidur, setelah meminum obat," kata bibi Marta dengan suaranya yang pelan.

"Sudah diperiksa dokter?" tanya Jimmy.

Bibi Marta mengangguk, tangannya sibuk membereskan sebuah baskom berisi air lengkap dengan handuk kecil, yang tadi digunakan untuk mengompres kening nyonya Anna---yang sempat mengalami demam. "Sudah. Nyonya baru mau diperiksa, setelah tuan Jeon memberitahunya bahwa Tuan Muda akan segera pulang," jelasnya.

"Saya permisi dulu, Tuan. Jika perlu sesuatu, panggilan saya saja," lanjut bibi Marta, yang kemudian berlalu keluar dari dalam kamar.

"Iya," jawab Jimmy singkat. Setelahnya, dia pun berjalan mendekati sang ibunda. Rasa ibanya kian membesar, melihat wajah pucat yang ada di hadapannya.

Helaan napas berat terdengar begitu lirih. Jimmy sungguh merasa frustrasi dan payah saat ini. Mengaku kalah pada dirinya sendiri karena tak bisa menang melawan keegoisan dan amarahnya. Yang mengakibatkan semua masalah yang seharusnya bisa terselesaikan, malah semakin melebar kemana-mana.

Dan salah satu korbannya adalah ibunya sendiri, yang padahal hanya ingin berbaik hati mengurus cucunya, walaupun tercipta dari hubungan yang tak resmi.

Mata Jimmy memejam, dia tengah mengatur perasaannya yang kini diliputi dengan penyesalan.

Ketika menyadari ada hal yang mengganjal sejak tadi, kini pandangan Jimmy malah tertuju pada sebuah bingkisan berisi buah-buahan di atas meja. Matanya tambah terbuka lebar saat dia juga melihat ada satu tas yang tergeletak di sampingnya.

Tasnya familiar, tapi dia yakin itu bukan milik ibunya.

Mengingat kembali soal mobil Jeon yang terparkir di depan, Jimmy jadi penasaran dengan keberadaan pemuda tersebut.

Hampir lupa, Jimmy memang sejak tadi tak melihat presensi pemuda tersebut.

Menyisir ke setiap sudut ruangan, Jimmy juga kini sadar bahwa tak ada Jira di atas kasurnya. Kemana bayi mungil itu sekarang? Mungkinkah bersama Jeon?

Not, My Typeحيث تعيش القصص. اكتشف الآن