30. Panggilan Mendesak

95 30 36
                                    

Masih dalam keadaan setengah sadar, karena terlelap terlalu nyenyak. Aera jadi menyangka bahwa kejadian yang kini dia alami adalah sebuah mimpi.

"Tampar aku." Hingga kelinglungannya malah membuatnya menyerukan permintaan konyol tersebut.

Sementara Jimmy yang mendengarnya, langsung terkekeh lirih. "Apa kau pikir, kau sekarang sedang bermimpi?" tebaknya, tepat sekali.

Bagaimana Aera tak menyangka dia tengah bermimpi? Seingatnya dia tadi masih tertidur di samping Jira. Perasaan bahagia dan nyaman membuat dia yang kelelahan dengan tanpa sadar malah ketiduran.

Tangan Jimmy yang tadi terangkat kini perlahan turun, tertuju pada pipi Aera. Alih-alih menampar, dia malah mengelusnya dengan gerakan lembut.

"Apa yang kau lakukan?!" Aera tersentak dengan tindakan Jimmy tersebut. Dia langsung menjauhkan tangan Jimmy dari pipinya.

"Menamparmu," jawab Jimmy dengan entengnya.

"Menampar macam apa seperti itu." Aera bergumam, sembari melengos. Menghindari Jimmy yang kini masih terus menatapnya.

"Tamparan level soft," balas Jimmy, yang membuat Aera merotasikan matanya dengan malas.

"Dimana-mana level itu easy, medium dan hard." Aera menjawab ucapan ngawur Jimmy, walau masih dengan posisi menatap keluar jendela.

Mendengar jawaban ketus Aera, Jimmy malah mengulas sebuah senyuman tipisnya. "Kau kira level game? Ini kan level tamparan." Entah mengapa, dia malah senang bisa berinteraksi dengan Aera kali ini, walaupun bahan obrolan mereka sangat tidak jelas sekali.

Ada embusan napas kasar yang terdengar dari mulut Aera. Wanita ini kini berbalik, memberanikan diri untuk menatap Jimmy. "Kalau yang medium bagaimana? Coba lakukan," tantangnya.

Jimmy semakin terkekeh, melihat wajah ngambek Aera yang menurutnya malah terkesan lucu. Menggemaskan.

"Kalau yang hard tidak usah, karena aku sudah tahu bagaimana rasanya!"

Dan ucapan tegas Aera barusan, malah membuat Jimmy harus menghilangkan senyuman, berganti dengan rasa bersalahnya. "Maaf," ucapnya yang kini kembali sadar bahwa perlakuannya dulu memang sangat berlebihan.

"Turun." Aera tak menggubris ucapan Jimmy soal permintaan maafnya. Dia malah menyuruh pemuda tersebut untuk lekas keluar dari mobilnya. "Kau bisa pulang naik taksi, kan?" tanyanya, membuat Jimmy malah menyengir, menampilkan deretan gigi rapinya.

"Aku lupa, tidak membawa dompet dan ponsel," alasan Jimmy, yang kembali membuat Aera harus mengelus dadanya penuh kesabaran. "Nanti aku ganti uang bensinnya setelah sampai di rumah," lanjutnya demi menjaga harga diri.

"Terserah saja," pasrah Aera yang sudah tak tahu harus berbuat apa.

Jimmy mulai menyalakan mesin mobilnya, sedikit melirik pada Aera yang kini sudah kembali mengaktifkan mode diamnya.

"Kapan kau akan datang ke panti lagi?" Jimmy membuka pembicaraan, berharap bisa sedikit demi sedikit memperbaiki hubungannya dengan Aera.

"Tidak usah bertanya, aku sedang tidak ingin berbicara," jawab Aera dengan suara yang jelas sekali tengah menahan rasa kesalnya. "Fokus saja pada jalanan, tingkatkan kecepatan lagi, supaya kita cepat sampai," perintahnya, tak memedulikan reaksi Jimmy yang kini terus melirik padanya karena terganggu sesuatu.

Menyadari tengah diperhatikan, Aera pun lantas mengulurkan tangannya untuk menyetel musik guna menyamarkan suara-suara raungan yang datang dari perutnya.

"Kau lapar?" tanya Jimmy tanpa basa-basi.

Aera hanya menghela napas. Padahal dia berharap Jimmy tidak akan menyadari bahwa dirinya tengah menahan lapar.

Not, My TypeWhere stories live. Discover now