🥀MDW-Pulang Larut🥀

526 28 0
                                    

Malam hari pun tiba, makan malam sudah tersaji di meja makan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Malam hari pun tiba, makan malam sudah tersaji di meja makan. Lily sudah sangat yakin, kali ini, Gave akan menyukai masakannya. Sampai pada tiba waktunya, lelaki itu duduk, dan menatap Lily datar, tanpa senyuman. Namun Lily tetap mengembangkan senyumnya. Degup jantungnya berpacu lebih cepat, tatkala Gave mulai mengunyah makanannya.

Satu sendok sudah masuk dalam mulutnya, Gave tertegun setelahnya. 'Enak sekali,' batinnya. Ia memandang Lily, sehingga pandangan mereka saling bertamu.

"Kamu itu bisa masak atau enggak?" Senyum yang menghiasi bibir Lily langsung hilang dalam sekejap.

"Rasanya sama saja, tidak enak. Aku akan makan di luar, kamu itu memang tidak becus!" lanjutnya lagi, dengan membentak. Gave lekas bangkit dari duduknya, ingin beranjak pergi. Akan tetapi, Lily bergerak cepat menahan pergelangan tangan suaminya.

"Kumohon, kamu rasain makanan yang lain, pasti enak, kok. Maaf kalau yang itu tidak enak," ucap Lily, memohon. Segera Gave menepis tangan Lily agar menjauh darinya. Ia melayangkan tatapan begitu tajam, bagaikan burung Elang yang siap memangsa.

"Kalau salah satunya ada yang tidak enak, sudah pasti yang lainnya juga sama rasanya. Minggir!" Gave mendorong tubuh Lily, sehingga gadis itu terjatuh ke bawah. Beruntung, kepalanya tidak tertubruk ujung meja.

"Maafkan aku, kumohon, jangan pergi." Lily memohon, terlihat di sudut matanya tertampung air mata. Dalam satu kedipan saja, maka, cairan bening itu akan tumpah.

Akan tetapi, Gave sama sekali tidak merasa kasihan ataupun merasa peduli. Ia berlalu begitu saja, meninggalkan Lily yang sudah menangis. Kaki panjang dari lelaki itu terdengar mulai menjauh, hingga sudah tidak dapat di dengar lagi. Lily berusaha agar berdiri, ia berlari kecil menuju pintu utama. Deru mesin mobil sudah terdengar, saat Lily membuka pintu, mobil yang dibawa oleh sang suami sudah berjalan, keluar dari pekarangan rumah.

Lily menatap sendu ke arah mobil yang kini sudah hilang dari pandangannya. Ia kembali masuk ke dalam rumah, sembari mengelus dada, upaya meneduhkan hati, barang sedikit saja. Pipinya mulai kering lagi, bergegas ia pergi ke ruang makan kembali. Dan duduk di kursi tersebut seorang diri.

"Padahal aku sudah berusaha, tapi nampaknya usahaku tidak pernah dihargai. Aku tidak tahu, kenapa kamu begitu membenciku, Gave. Setidaknya, kasih tahu aku alasannya, agar aku bisa mengerti," gumamnya. Lagi, air matanya meluruh begitu saja.

Beberapa kali ia menghapus kasar air matanya, namun, tetap saja cairan bening itu turun, menghangati pipinya. Gadis itu mulai mengeluarkan suara isakan, menghapus keheningan di dalam ruangan tersebut.

Sayang kalau tidak di makan, dengan tangan gemetir, ia memakan masakannya seorang diri, sambil sesenggukan. Padahal dirinya sudah berharap, akan makan malam bersama dengan suaminya itu. Ternyata, ekspektasinya terlalu tinggi. Bukan pujian yang didapatkan, melainkan kata-kata kasar yang menghantam hatinya. Belum juga seminggu, Lily sudah dibuat menangis ke sekian kalinya. Entah sampai kapan Lily akan mempertahankan rumah tangganya yang baru seumur jagung tersebut.

Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Lily masih terjaga, lantaran Gave belum juga pulang ke rumah. Lily menjadi cemas, takut terjadi sesuatu hal yang menimpa suaminya. Beberapa kali ia mengintip tirai jendela, berharap menemukan sorotan cahaya lampu mobil. Sayangnya, tak kunjung ia dapatkan. Gadis itu tidak bisa tenang, sebelum Gave sudah kembali ke rumah dengan selamat.

Lily menggigit ujung kukunya, sambil berjalan mondar-mandir layaknya setrika, di depan pintu. Sayup-sayup telinganya mendengar deru mesin mobil, segera Lily membuka tirai lagi. Dan benar saja, sebuah mobil sedan berwarna hitam itu singgah di pekarangan rumahnya, cahaya lampu dari mobil itu mati, bertepatan dengan matinya suara mesin. Sesegera mungkin Lily berangkat keluar, dilihatnya Gave yang baru saja keluar dari mobil dengan kondisi yang nampak awut-awutan.

Melihat Gave yang berjalan sempoyongan, sambil memegang kepalanya. Buru-buru Lily bertindak, ia menghampiri lelaki itu, dan membantunya berjalan.

"Lepasin, aku tidak butuh bantuanmu!" Gave memukul lengan gadis itu. Tetapi Lily tidak peduli dirinya mau dipukul lagi ataupun di caci maki. Bagaimanapun juga, ia harus membantu Gave yang wajahnya sangatlah pucat pasi, bagaikan tidak ada darah yang mengaliri tubuhnya.

Lily juga dapat mencium bau alkohol dari mulut Gave, yang amat menyengat indra penciumannya. "Kamu mabuk?" tanya Lily, hati-hati.

Gave menoleh ke arah Lily yang masih saja memegang bahunya. "Bukan urusanmu, menjauh dariku!" Teruntuk kedua kalinya, ia ingin memukul tangan Lily. Kali ini, gadis itu berhasil mencegahnya.

"Jangan mendekat!" Gave berdecak kesal, baru berapa langkah ia berjalan sendiri, tubuhnya sudah kehilangan keseimbangan. Sedikit lagi ia terjerembab, tetapi itu tidak terjadi, sebab Lily lebih dulu menahannya.

"Biar ku bantu," ucapnya, sembari meletakkan tangan kiri Gave ke bahunya. Nampaknya, lelaki itu sudah tidak bisa mengeluarkan suara lagi. Ia memandang Lily dengan pandangan mata yang buram. Mau tidak mau, ia menerima bantuan itu.

Perlahan namun pasti, Lily memapah suaminya, berjalan masuk ke dalam rumah. Tidak memerlukan waktu yang banyak, ia sudah berhasil membawa Gave ke kamarnya. "Akhirnya," Lily mengusap sebulir air keringat yang mengalir di pelipis.

Tepat ketika Gave dibaringkan ke atas kasur, kedua matanya sudah terpejam rapat. Bukti bahwa dirinya sudah terlelap. Dengan pelan, Lily memperbaiki letak tubuh Gave. Dan meletakkan kepala suaminya ke atas bantal. Selimut yang berada di bawah kaki Gave, ia ambil, lalu menaruhnya ke atas badan lelaki itu hingga separuh badan.

Lily duduk ke kasur, sembari memandang wajah suaminya lekat. Senyumnya merekah begitu saja, Gave memang memiliki paras yang tampan. Hidung mancung, alis yang tebal, wajah yang bersih, dan memiliki bibir yang berwarna ke pink-an. Ingin sekali Lily menyentuh wajah dari laki-laki itu, tetapi urung ia lakukan. Takut, jikalau tindakannya akan membangunkan tidur suaminya. Lebih baik, ia memperhatikannya saja. Begini saja pun, sudah membuat Lily senang, kapan lagi ia leluasa mengagumi wajah Gave.

Tanpa sengaja, Lily melihat ke arah kemeja Gave yang kancingnya tertutup semua. "Pasti dia kepanasan," gumamnya, ingin melepaskan kancing kemeja tersebut. Pergerakannya seketika terhenti, ketika Gave melakukan pergerakan kecil. Tanpa diduga, tangan Gave menyentuh tangan Lily dan memegangnya.

"Jangan pergi." Gave bergumam lirih, dimana matanya masih tertutup rapat. Rupanya, ia sedang bermimpi.

Lily menatap tangannya yang dipegang oleh Gave. Pertama kali dirasakannya ialah kehangatan, Lily mengalihkan pandang ke arah sang suami sembari menguraikan senyum. "Iya, aku tidak akan pergi," ucapnya, pelan.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
My Doll Wife [End]✓Where stories live. Discover now