SEMAKIN KERDIL

458 7 0
                                    

       "Ok, aku akan jelaskan semuanya padamu. Aku dan Jovanka memang sudah bertemu, tapi bukan berarti aku mau meninggalkanmu. Masalah kesepakatan yang pernah kita buat, lupakan semua itu. Aku tidak pernah menganggap kesepakatan itu ada." ucap Dave menatap lekat ke arah Keinara.

    "Maksudmu?" tanya Kienara yang gagal mencerna perkataan Dave.

     "Apa masih kurang jelas perkataanku tadi, Keinara? Aku mau lupakan semua kesepakatan yang pernah kita buat, sekarang, aku mau tanya sesuatu padamu dan kamu harus jawab dengan jujur karena jawabanmu kali ini adalah penentu hubungan kita untuk selanjutnya. Selama tiga bulan kita menikah, apakah kamu tidak nyaman denganku?" tanya Dave, tatapannya tidak lepas dari manik mata Keinara.

     "Sejujurnya, aku merasa sangat nyaman, Dave dan aku sudah jatuh cinta padamu. Tapi aku takut untuk mengakuinya, aku takut cintaku hanya bertepuk sebelah tangan. Aku takut merasakan sakit untuk kesekian kalinya." batin Keinara dalam hatinya. Tanpa ia sadari cairan bening itu keluar dari pelupuk matanya. Entah apa yang membuatnya sedih, dia juga sangat mudah sensitif semenjak kehamilannya.

      "Hei, kenapa kamu malah menangis? Apakah pertanyaanku tadi menyakiti perasaanmu?" tanya Dave menghapus air mata Keinara dengan ibu jarinya.

    Keinara terpaku melihat perlakuan Dave yang begitu membuatnya tenang.

     "Dave apakah aku boleh memelukmu?" tanya Keinara mulai melunak.

    "Kenapa tidak? Kamu boleh memeluk suamimu ini sepuasmu, nggak ada yang melarang." jawab Dave tersenyum sumringah.

    Keinara pun langsung memeluk Dave, tangisnya semakin pecah membuat Dave menautkan kedua alisnya.

    "Dave, mungkin ini adalah terakhir kalinya aku memelukmu. Kebahagiaanmu bukanlah denganku, tapi dengan teman masa remajamu yang bernama, Jovanka. Aku sudah ikhlas melepaskanmu dan aku siap menyandang status baruku nanti setelah kita resmi bercerai." ucap Keinara lirih, sesekali ia menggerakkan sebelah tangannya untuk ia gunakan menghapus air matanya.

      "Hahaha...ternyata hanya aku saja yang tidak menginginkan perpisahan ini. Jadi maksudmu, kita akan bercerai? Aku sudah salah berharap kepadamu, Keinara untuk mendampingiku seumur hidupku. Aku bahkan belum menjelaskan kepadamu tentang hubungan aku dan Jovanka, tapi kamu sudah mengambil kesimpulan sendiri. Tapi ya sudahlah, aku sudah tahu jawabanmu. kamu sendiri yang menginginkan perpisahan ini." ucap Dave menarik tubuhnya setelah mendengar pengakuan dari Keinara.

    "Aku hanya tidak ingin menjadi orang yang egois, Dave. Kamu berhak untuk hidup dengan orang yang kamu cintai." ucap Keinara menundukkan wajahnya sambil terisak pelan.

    "Kamu memang egois, Keinara! Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri tanpa tahu bagaimana perasaanku padamu! Kamu ingin kita berpisah? Ok, aku akan turuti permintaanmu, tapi kamu jangan pernah menyesal karena sudah mengambil keputusan yang salah!" ucap Dave meninggikan intonasi suaranya.

    "Dave aku hanya ingin melihatmu bahagia." ucap Keinara dengan suara parau karena tangisan yang semakin mengalir deras.

    "Aku muak mendengar alasanmu yang tidak masuk akal itu, Keinara!" ucap Dave berlalu dari kamar Keinara dan pergi ke apartemennya yang berada di sebelah apartemen Keinara.

    Keinara menangis sejadi-jadinya, ia bingung dengan keputusan yang sudah dia ambil.
    Sedangkan Dave merasa frustasi di dalam kamarnya karena Keinara begitu menginginkan berpisah dengannya.

     Arghh...

    "Lama-lama aku bisa jadi gila! Kenapa, Keinara tidak mengerti dengan apa yang kukatakan tadi bahwa aku tidak mau ada kesepakatan itu lagi diantara kami? Dia malah ngotot untuk berpisah, padahal aku sudah mulai jatuh cinta dengannya. Aku memang pernah jatuh cinta kepada Jovanka tapi tidak dengan sekarang. Kamu sudah berhasil mendapatkan hatiku, Keinara. Apa yang harus aku lakukan sekarang agar kamu percaya padaku." gumam Dave mengumpat kesal.

    Dia terlihat sangat kacau, barang-barang yang ada di apartemennya menjadi pelampiasan sasaran emosinya.

    "Halo, aku mau kamu mengantarkan pesananku nggak pakai lama." ucap Dave mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.

    Si penerima telpon belum sempat menjawab telponnya, Dave sudah mengakhiri panggilannya sepihak.

     "Pasti sekarang dia ada masalah dan pelariannya itu selalu ke minuman. Sudah menikah, tapi tetap saja tidak berubah sifatnya." gumam Damar salah satu temannya Dave sambil menyusun beberapa botol minuman yang di pesan, Dave lalu dimasukkannya ke dalam paper bag.

    "Baiklah, aku akan mengantar pesanannya sekarang. Dari pada dia mengamuk duluan, lebih baik aku turuti saja permintaannya." gumam Damar lagi bergegas menuju ke unit apartemen Dave.

     Tidak membutuhkan waktu lama, Damar sudah sampai di depan pintu apartemen Dave dengan beberapa botol minuman yang ia bawa.

     Tok...tok...tok...

    "Masuklah." ucap Dave, ia bergegas berjalan melangkah menuju pintu utama apartemennya lalu membuka pintu setelah mendengar suara ketukan pintu dari luar.

    Kedua bola mata Damar melebar melihat ke dalam apartemen Dave yang sudah seperti kapal pecah.

    "Ini apartemen atau apa ya? Mau duduk saja nggak tahu di mana kursinya." pekik Damar yang kebingungan mencari sofa di ruang tamu apartemen Dave.

    "Berisik! Berikan minumannya dan kamu sudah boleh pulang!" perintah Dave mengusir halus Damar yang masih berdiri mematung.

    "Aku baru saja sampai, tapi sudah kamu suruh pulang saja. Teman seperti apa kamu ini?" protes Damar kesal dengan wajah cemberut.

     "Kalau kamu mau menemaniku di sini silahkan, tapi jangan berisik. Oh ya, tolong bersihkan apartemenku sekalian ya." ucap Dave yang lebih tepatnya seperti perintah.

     "Enak saja kamu menyuruhku, aku bukan pembantumu. Suruh saja orang lain." jawab Damar yang melihat sebuah kursi kosong lalu menjatuhkan bokongnya duduk di kursi tersebut.

    "Telpon OB sekarang!" perintah Dave sambil meneguk minumannya langsung dari botolnya.

     Damar pun menghubungi OB yang bekerja di apartemen tersebut. Damar hanya memperhatikan Dave yang sudah menghabiskan sebotol minumannya dan mengambil botol minuman yang lainnya, dan hanya ada tersisa satu botol lagi.

    Siang sudah berganti malam, tapi Damar masih setia menemani Dave.

    "Dave sudah cukup minumnya!" ucap Damar bangkit berdiri dari duduknya berjalan menghampiri, Dave dan mengambil botol minuman dari tangan Dave.

    "Damar kamu tidak berhak melarangku, lebih baik kamu pulang sekarang. Kamu tahu kenapa aku seperti ini? Pasti kamu tidak mengetahuinya bukan?" ucap Dave meracau karena efek dari minuman yang ia teguk.

    "Ya mana aku tahu masalahmu, Dave. Dari tadi kamu tidak menceritakannya padaku. Aku akan mengantarmu sampai ke kamar." ucap Damar mengajak Dave kemudian ia memapahnya.

    "Hahaha... ini semua gara-gara, Keinara. Dia mau kami bercerai, padahal aku sangat mencintainya, Damar. Sungguh menyedihkan sekali hidupku aku tidak mau bercerai dengannya, Damar." ucap Dave terus meracau sepanjang perjalanan menuju ke kamar tidurnya.

    "Jadi itu yang membuat Dave frustasi? baru kali ini, aku melihat Dave sekacau ini gara-gara wanita." gumam Damar menggeleng-gelengkan kepalanya membuang napas panjangnya dengan kasar.

    Damar berusaha membawa Dave ke kamar, belum sampai ke kamar tidurnya, tapi Dave menepis tangan Damar dengan kasar.

TAWANAN CEO KEJAM Where stories live. Discover now