PENGECUT

109 108 0
                                    

Malam-malam gini sebuah panggilan telfon menyeru di balik sana, pada panggilan handphone Gafi.

📞"Dok, ada pasien  darurat di ruang ICU, pasien ini telah terdapat tumor di kepalanya, sepertinya kita harus melakukan tindakan oprasi, jadi tolonglah secepatnya datang, agar proses oprasi bisa di segerakan, pasien saat ini sangat kritis."

📞"Sudah ada persetujuan dari keluarga pasien, untuk tindakan oprasi ini?"

📞"Ntahlah, pasien ini datang dari rujukan rumah sakit tetangga, namun di lihat ia hanya datang seorang diri, dengan hanya di antar oleh para tim medis dari rumah sakit itu, jadi bagaimana?"

"Baik, kita bicarakan lagi nanti, jadi tolong tangani dulu untuk sementara, saya akan segera datang ke sana."

📞"Baik, kami tunggu, matikan."

Gafi mematikan telfon, dengan menghela nafas beratnya, ia mendongak sembari menyugar kasar rambutnya dengan fikiran frustasinya.

Tak ada fikiran apapun lagi selain bertekat.

Pria itu mendapati cepat kunci mobilnya.

Cegrek!
Menutup cepat pintu apartemen, lalu ia melangkah lari melintasi sembuah koridor apartemen, dengan perasaan gugup dan terburu-burunya, membuatnya tak acuh pada jas dokter yang belum sempat terpakai sempurna di tubuhnya, namun ia tetap memaksakan berlari sembari menyempurnakan jas yang ia pakai di tubuhnya.

Mendapati segera, sebuah mobilnya yang terpalkir pada ruangan palkiran apartemen, hingga secepatnya ia masuk, dan segera melajukannya menuju arah rumah sakit.

Hal yang sudah biasa Gafi alami, yang di mana sebuah satu hal yang membuatnya terpingkal  kepanikan dan jatuh dalam kegugupan, adalah satu hal saat mendengar suatu panggilan darurat dari rumah sakit, hal itu sangat membuatatnya jadi terteguk oleh gelimang kerisauan, bahkan yang di mana terkadang  dirinya   pun  bisa sampai meraksaan trauma, dan rasa bersalahnya pada dirinya sendiri,  jika ia telah gagal  menyelamatkan pasiennya, ia selalu merasa bersalah, walaupun semua itu terjadi karena kehendak takdir.

Namun mau bagaimana pun juga inilah tugasnya menjadi seorang dokter, yang di mana dirinya memang harus benar-benar  menekat maju dan siap dalam posisinya, mungkin bisa ia hindari jika hanya dengan  beralasan akan takut untuk melakukan hal itu, namun untuk apa masih beralasan? Lantas untuk apa gunanya  menjadi dokter? Bukankah ini memang sudah  tugasnya menjadi seorang dokter?

Ya mungkin begitulah layaknya menjadi seorang dokter yang di mana tenaganya harus menjadi taruhan demi nyawa orang lain, yang demikian ia juga harus memiliki ketekatan kuat.

Lelaki itu bersiap usai mencuci kedua tangan, dengan berhati-hati Gafi  menghindarkan kedua tangannya dari sentuhan apapun, untuk menjaga dan menetapkan kondisi aseptik pada kedua tangannya selama oprasi, dengan di dampingi oleh seorang perawat yang ikut membantu dan melayaninya memakaikan pakaian medis oprasi pada tubuhnya hingga sampai terbalut rapih.

Kini lelaki bertubuh kekar dan tinggi sudah siap terbalut rapih oleh pakian medis oprasi,"Semuanya sudah di siapkan?" Tanya lelaki itu dalam kondisi wajah tertutup masker medis, dan kepala yang sudah tertutup nurse cap, komplit sudah pakain medis yang membalutnya.

"Sudah dok," Balas ramah sang perawat sembari menunduk hormat.

"Baik,"segeralah Gafi melangkah masuk ke dalam ruangan oprasi.

Setibanya masuk ke dalam ruangan,  suasana dingin tiba menerpanya, membuat Gafi jadi terbenam dari langkahnya, hingga berdiam sejenak menyisir suasana  ruangan, ia menghela nafas panjang untuk melegakan perasaan tegangnya terlebih dahulu.

Baru saja tengah mengatur nafas, tiba-tiba saja ...

Tut tut tut tuutt ....

Sambutan bunyi alat monitor itu membuat Gafi beralih pandangan ke arah pasien yang sudah terbaring diam di atas brankar oprasi itu.

KALIMAT CINTA tak TertataWhere stories live. Discover now