36. EDELWEISS

26 1 0
                                    

Sinar matahari masuk di sela-sela jendela dan pintu, sinar berwarna orange menandakan hari sudah petang. Meskipun begitu, ketegangan tidak kunjung mereda di antara mereka.

Amina duduk gelisah di atas ranjang putrinya, kamarnya memang rapih tetapi ada rasa sakit dan moment yang tidak mengenakan jika terus berlama-lama di kamar ini. Karena Amina bisa merasakan betapa pedihnya rasa sakit yang dirasakan putrinya selama ini. Sembari memeluk foto Kirei saat masih menduduki sekolah menangah pertama. Amina keluar dari kamar, berjalan pelan menghampiri mantan suami dan mantan sahabatnya.

Tatapan Amina tidak beralih sedetik pun ke arah Yura. Jika selama ini dia hanya diam saja ketika Yura bertindak berlebihan terhadapnya, maka sekarang dia akan melawan semua orang yang menghalangi jalannya bertemu dengan anak-anaknya.

Sembari menunduk takut, Yura seakan tidak berani membalas tatapan Amina kepadanya, entah mengapa nyali dan rencananya tiba-tiba saja hancur begitu saja. Perlahan keberaniannya terhadap perlakuan semena-menannya mulai memudar seriring dengan fakta yang satu persatu mulai bermunculan.

"Mas, aku ngaku salah, maaf atas semua perlakuanku terhadap anak-anak," Yura berkata lirih. Matanya tidak sanggup melihat ke arah suaminya.

"Sejujurnya saya tahu bagaimana perlakuanmu terhadap Kiki. Meski Kiki tidak pernah berbicara buruk tentangmu, tetapi saya tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah ini," balas Andre dengan tatapan sengit.

Pria berumur itu mulai berpikir kembali, jika saat itu dirinya tidak mengambil keputusan sepihak mengenai perceraian. Mungkin rumah tangganya tidak akan hancur seperti ini, dia terlalu bodoh karena sudah menerima orang asing yang menjadi ibu untuk anak-anaknya.

Sembari melepas kacamatanya, Andre kembali membuka suara. Hari ini juga dia harus menuntaskan semua permasalahan di dalam rumah tangganya.

"Seharusnya saya sadar, kamu tidak pantas mendampingi saya."

Yura berjalan mendekati suaminya, berlutut sembari terisak pilu. Berkali-kali dia mengucapkan kata maaf tulus dari hati kecilnya, sejujurnya dia sudah mulai sadar atas perlakuannya selama ini, tetapi Andre masih tetap pada pendiriannya.

"Sebaiknya perceraian memang posisi yang paling pas untuk saat ini, saya sudah cukup sabar atas pengkhianatan kamu terhadap saya selama ini. Sudah saatnya kamu menerima kenyataan ini."

"Tapi Mas apa tidak ada kesempatan lagi untuk aku memperbaiki semunya?" tanya Yura sambil terisak pilu meski Andre tampak tidak peduli.

Girald berdiri di ambang pintu rumahnya, menyaksikan betapa hancur keluarganya. Ada banyak luka tersimpan yang terkadang membuatnya muak.

Seperti tidak terjadi apa-apa, Girald menenteng baju kotor Kirei ke ruang cuci. Menghiraukan tatapan dari ketiga orang tuanya.

Untuk saat ini tidak banyak yang bisa dia lakukan, membuat Papa dan Mamanya bersatu kembali adalah hal yang mustahil. Memikirkannya saja sudah membuatnya pusing.

Dengan penuh kehati-hatian Girald memasukan satu persatu pakaian kotor ke dalam mesin pencuci. Sembari mendengarkan suara-suara gemuruh dari ruang tamu.

***

"Atan lagi ada masalah apa sama Neysha?" tanya Kirei hati-hati sebab setelah mengantarkan Neysha pulang Nathan tampak begitu pendiam -seperti ada sesuatu yang menganjal pikirannya.

Di dalam ruang rawat itu hanya ada mereka berdua yang tersisa, teman-teman Kirei sudah lama berpamitan. Nathan menoleh ke arah Kirei dengan tatapan datarnya, seolah mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Tidak mengeluarkan suara apa pun, Nathan hanya tersenyum sesekali mengusap pelan kepala Kirei.

"Ditanya itu jawab! Bukan malah bikin orang melting," gurau Kirei seraya membenarkan rambutnya yang sedikit acak-acakan akibat Nathan.

"Gue putus sama Neysha."

Mendengar ucapan Nathan, Kirei hanya terdiam sejenak. Ada perasaan senang di hatinya, tapi dia juga merasakan sakit jika Nathan diam dan bersedih karena hal itu. Kirei sangat tahu bahwa Nathan sangat sulit dekat dengan siapa pun. Berpacaran dengan Neysha merupakan poin plus.

Kirei membenarkan posisi duduknya, tangannya berusaha meraih kedua tangan Nathan hingga menyatukannya, "Atan suka sama Neysha? Seneng kalo lagi di dekat Neysha?" tanya Kirei sembari menatap netra Nathan.

Tanpa ragu Nathan mengangguk pelan membuat Kirei tersenyum senang. "Nah gitu dong! Dari tadi kek, oh iya, Atan nggak boleh nyerah gitu aja, ayo kejar Neysha lagi. Sebelum semuanya terlambat, Kiki yakin kok jika Neysha masih menyukai Atan."

"Nggak sekarang, Ki. Tapi nanti."

"Nantinya itu kapan? Inget ya Atan, cewek itu paling nggak mau digantungin. Apa Nathan nggak capek ngegantungin orang mulu?"

"Gantungin siapa? Cuma Neysha,'kan?" tanya Nathan. Kirei hanya terdiam, sepertinya Nathan memang tidak peka terhadap perasaannya selama ini.

***

Dua hari setelah Kirei sadar, akhirnya Kirei diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit. Perasaan senang menghantui Kirei sejak pagi tadi setelah mendapatkan informasi. Kirei tidak henti-hentinya mengoceh tentang apa saja pada Girald. Meski respon Girald terkadang seperti tidak minat, tetapi hal itu tidak mengurangi rasa Kirei untuk berhenti bercerita. Sebab, sudah lama dia menantikan Girald di sisinya.

"Kak Girald, kalo misalnya Kiki punya cowok. Kak Girald bakal suka nggak sama cowok Kiki?" Kirei bertanya random membuat Girald salah paham.

"Siapa juga yang mau sama cowok lo. Gue masih normal. Nggak minat lobang sil*t. Sorry." Girald menenteng tas serta barang-barang lain sembari melewati Kirei yang masih tercengang. Mungkin Kirei syok.

"Kak Girald ngerti nggak sih! Bukan gitu maksud Kiki. Ah, udahlah. Mending ngomong sama setan dari pada ngomong sama Kakak!"

"Apa sih, Ki? Nggak usah sok asik, ya. Duit gue lagi nipis nih, jangan sampai lo gue jual sama ani-ani tukang urut!"

"Heh! Kak Girald tuh, ya. Bener-bener bikin orang kesel." Kirei menghentakkan kakinya ke lantai beberapa kali hingga pintu ruangan terbuka, Kirei hampir ingin memeluk orang itu karena ia pikir tadinya orang itu adalah Papanya.

Kirei hanya bisa menunduk setelah orang itu -Mama kandungnya tampak sedih karena anak perempuan kesayangannya tidak jadi memeluknya.

"Mama sama siapa ke sini? Kan tadi Girald udah bilang, tunggu aja di rumah. Bentar lagi pulang kok." Girald mencoba mencairkan suasana meski ia tahu jika keduanya tengah berada di posisi canggung.

"Mama ke sini sendiri. Mama nggak enak kalau menunggu di rumah Papamu." Sembari melirik Kirei yang tampak murung, Amina memberanikan diri untuk mendekati putrinya. Belum sempat menyentuh pundak Kirei, Amina langsung mengurungkan niatnya. Dia beralih ke barang-barang bawaan Girald.

Sadar akan kecanggungan ini, Girald kembali menggoda Kirei agar kembali tertawa seperti tadi. Walaupun hasilnya tetap nihil. Girald tahu, adiknya masih butuh waktu mencerna fakta itu. Apalagi sifat Kirei yang masih kekanak-kanakan.

"Kenapa Mama ninggalin Kiki sama Kak Girald?" tanya Kirei tiba-tiba setelah hening cukup lama.

- T B C -

EDELWEISS [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang