30. EDELWEISS

26 7 5
                                    

Andre terkulai lemas di lantai rumah sakit, kepalanya senantiasa menunduk. Air mata sudah mengalir sedari tadi. Dia juga ikut menyesal melihat kondisi putri kesayangannya. Andai saat itu ia tidak egois mungkin Kirei tidak akan mengalami hal buruk seperti sekarang ini.

Tangan Amina terulur ingin menyambut mantan suaminya agar tidak terus-terusan terduduk di lantai. Meski sakit di hatinya masih terasa sampai saat ini, Amina tidak peduli akan hal itu, ia sangat tahu sebenci apa Andre kepadanya.

Melihat tangan terulur di hadapannya, Andre lantas mendongak kemudian melepas kacamata minus yang sudah dipenuhi oleh air mata. Andre terpaku, menatap wajah yang selama ini ia sakiti. Bagaimana bisa wanita di depannya ini tidak menaruh kebencian terhadapnya setelah semua masalah yang dilakukannya.

"Amina?" lirih Andre hampir tidak terdengar.

"Mas, aku mau ngomong sesuatu, tapi untuk sekarang lebih baik mas temui Kirei terlebih dahulu. Barangkali dengan adanya mas di sini bisa membantu Kirei agar bisa bangun dari tidur panjangnya," pinta Amina dengan suara lembut, senyum tidak luput dari wajahnya. Senyum yang sama ketika keduanya masih bersama.

Andre tak menjawab, ia bangkit tanpa menerima uluran tangan Amina. Menghampiri putrinya yang masih setia memejamkan mata.

"Kiki, anak kesayangan Papa. Bangun yuk! Kiki anak kuat, masa begini aja sampai sakit. Kamu jangan lama-lama tidurnya, sayang. Papa di sini, jagain kamu sampai kamu sembuh. Papa janji setelah ini, Kiki nggak bakal ngerasain sakit lagi, maafin Papa yang udah nggak peka sama apa yang kamu rasain selama ini...." Isak tangis kembali terdengar, Andre mencium kening putrinya lama disertai bibir bergetar menahan tangis.

Tak lama berselang, Girald terbangun dari tidurnya. Menatap sekeliling, rasanya tadi ia mendengar suara rengekan Kirei. Dengan gerakan tergesa-gesa Girald menghampiri tempat tidur adiknya. Helaan nafas terdengar, Girald merasakan ulu hatinya diapit oleh batu besar. Rasanya sakit sekali.

Detik kemudian Girald panik sendiri ketika Papanya sudah sampai di kamar adiknya, terlebih orangtuanya tampak biasa-biasa saja. Mungkin hanya menghargai Kirei yang sedang sakit, pikirnya dalam diam.

"Sejak kapan Papa sampai, Ma?" tanya Girald tak berniat menyapa ayahnya.

"Satu jam yang lalu, waktu kamu tidur."

Menyadari jika dirinya ditatap begitu tajam oleh seseorang, Andre lantas menoleh. Di sana terdapat anak sulungnya. Ia dapat melihat sedekat apa Girald bersama Amina, rasa bersalah Andre muncul begitu saja tanpa permisi. Jika saat itu dirinya dapat memperbaiki semuanya, Girald dan Kirei tidak mungkin kekurangan kasih sayang barang sedikit pun.

"Bagaimana ini bisa terjadi Girald?" tanya Andre pura-pura tidak tahu. Sejujurnya, ia tahu kelakuan busuk istri mudanya tetapi dirinya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama.

"Papa tanya aja sama diri Papa sendiri, jangan pura-pura nggak tahu! Kirei begini juga gara-gara Papa, andai saat itu Papa nggak egois. Mungkin aku sama Kirei nggak akan ngerasain jadi anak broken home! Setelah Kirei bangun, aku bakal kasih tahu semuanya sama dia dan aku juga bakal bongkar sebajingan apa Papa kebanggannya ini!" tegas Girald disertai emosi. Wajahnya sedikit memerah, tatapan tidak beralih dari wajah Andre.

Plak

Bukan Andre yang melakukannya melainkan Amina. Ia muak melihat pertengkaran lagi, cukup dirinyalah merasakan sakit. Anak-anaknya jangan sampai seperti itu, cukup pernikahannya yang hancur tapi tidak dengan anak-anaknya. Tamparan itu semata-mata hanya peringatan kepada Girald agar tidak berbicara omong kosong lagi.

"Mama tampar aku? Aku salah apa. Ma! Yang salah laki-laki brengsek itu bukan aku." Girald menatap tidak percaya ke arah Mamanya.

"Maafin Papa, Girald. Semua ini salah Papa ... sudahlah Amina, jangan seperti itu lagi," cegah Andre ketika mantan istrinya ingin berbicara.

"Keluarga nggak jelas, yang satunya sok tersakiti, yang satunya lagi pasrah," cibir Girald. Detik kemudian ia bangkit dari sofa, berjalan keluar meninggalkan kedua orangtuanya.

***

Sejak tadi Nathan tidak berniat masuk ke dalam ruangan Kirei lantaran mendengar suara gaduh dan tangisan dari dalam ruangan. Ia sedikit curi dengar tentang hancurnya keluarga Kirei. Bertahun-tahun berteman baru kali ini ia mengetahui rahasia di balik keluarga sahabatnya. Nathan tidak habis pikir, bagaimana bisa semua orang menutupi rahasia seperti ini dari Kirei.

Girald terperanjat kaget ketika mengetahui siapa orang di depannya saat ini, Nathan mundur beberapa langkah kemudian mengikuti kemana arah Girald pergi.

"Lo yakin sama perasaan lo?" tanya Girald ketika keduanya sudah mampir ke tempat makan tidak jauh rumah sakit.

"Perasaan apa, Kak?" tanya Nathan dengan polosnya.

"Perasaan lo sama cewek kemarin."

"Gue juga nggak tau, Kak. Rasanya hampa, gue nggak bahagia. Gue benci sama diri gue sendiri." Nathan menunduk, tidak berani menatap pasang mata orang di hadapannya. Ia terlalu takut jika nantinya Girald melarangnya bertemu Kirei.

Girald tertawa pelan, "itu artinya lo hanya pura-pura nerima cewek kemarin, udahlah putusin aja. Perasaan lo itu khusus buat Kirei, gue tahu banget sifat asli lo itu gimana. Lo nggak asal nerima siapa pun jika itu nggak berhubungan sama Kirei."

Terkejut dengan ucapan Girald, Nathan yang penasaran pun menaikan sebelah alisnya seakan tidak percaya jika Girald tahu semuanya.

"Kakak tahu dari mana?"

"Dari tatapan lo, lo nggak pernah natap dia sebagai cewek lo, 'kan? Bahkan, lo lebih milih Kirei yang jelas-jelas bukan siapa-siapa. Mending lo ungkapin aja semuanya sebelum terlambat. Cewek butuh penjelasan, dia nggak mau berada di zona abu-abu alias lo gantungin. Apalagi zona pertemanan. Sebagai sesama cowok, kita nggak boleh ngeghosting cewek. Inget pesan gue, awas aja kalau lo masih belum bisa ngasih keputusan yang tepat." Girald memakan suapan pertama setelah mengatakan panjang lebar agar orang nggak pekaan seperti Nathan mengerti ucapannya.

"Thanks atas pandangan yang Kakak bagi," ucap Nathan. Girald mengangguk cepat.

***

"Kak Girald dari mana aja? Aku kangen Kakak!"

Girald terpaku ketika melihat siapa di hadapannya saat ini. Kirei beserta wajah cerianya langsung berlari kecil ke arah Girald, memeluknya dengan erat. Refleks, Girlad menampar wajahnya sendiri.

"Sakit, apa gue mimpi?" tanya Girald pada dirinya sendiri.

"Heh, apanya yang mimpi? Ini aku, Kak! adik Kakak, masa lupa sih, kan aku yang sakit masa kak Girald yang lupa ingatan. Papa ... Kak Girald lagi sinting, ya?" rengek Kirei kemudian menghampiri Papanya.

"Kamu tuh baru aja bangun, kok udah lari-larian aja! Baring lagi yuk, nanti infusnya copot terus keluar darah," peringat Andre pada putri bandelnya.

Baru saja hendak berjalan ke arah ranjang, gerakan tiba-tiba Nathan pada tubuh Kirei membuat semua orang melongo. Nathan memeluknya. Bahkan, Girald tadinya ingin memeluk Kirei duluan tapi sudah keduluan sama Nathan. Nathan sialan, pekik Girald membatin.

"Gue kangen lo, Ki."

- T B C -

EDELWEISS [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang