32. EDELWEISS

25 6 2
                                    

Kebohongan demi kebohongan kini mulai terungkap satu persatu. Ketika kebohongan itu dibalas oleh kejujuran, maka perasaan sakit hatilah yang akan muncul ke permukaan. Menangis pun tidak ada gunanya, hanya penjelasanlah yang mampu mengobati itu semua.

Kirei menatap lantai putih disertai air mata terus mengalir tanpa henti, tangannya tidak tinggal diam terus menghapus air mata. Matanya sembab akibat terlalu banyak menangis, sakit di batinnya kian melebar. Manusia seperti apa lagi yang dapat dia percaya.

Dari kejauhan Nathan memperhatikan sosok Kirei tengah menangis di pojokan. Berjalan pelan mendekati Kirei. Nathan berjongkok tepat di hadapan Kirei, tangannya terulur menghapus jejak air mata. Meski begitu, Kirei semakin menangis sejadi-jadinya.

Tidak ada raut kekhawatiran di wajah Nathan, pria itu tetap tenang sesekali mengusap pelan pipi Kirei. Hingga akhirnya Nathan tidak tahan langsung memeluk tubuh Kirei erat-erat, seperti tidak akan melepaskannya lagi.

"Cukup nangisnya. Sekarang, lo hanya perlu mendengarkan perjelasan dari keluarga lo. Setelah itu gue janji nggak bakal ninggalin lo sendirian lagi. Selama ini gue sadar, gue nggak peka sama keadaan lo selama ini. Gue brengsek, bila perlu lo pukul kepala gue supaya nggak salah jalan lagi," jelas Nathan dengan nada lembut.

Setelah Nathan mengatakan itu, Kirei mendongak dan menatap mata tajam milik Nathan. Kirei tersenyum lalu mengangguk setuju, tanpa sepatah kata Kirei langsung menarik tangan Nathan agar kembali ke ruangannya.

"Kalau misalkan wanita tadi beneran Mama aku, kira-kira kenapa ya dia sampai tega ninggalin aku, kak Girald, dan Papa?" tanya Kirei. Keduanya berjalan berdampingan bersamaan dengan kedua tangan yang saling bertaut.

Nathan berhenti sejenak membuat Kirei menatapnya heran, "kenapa?"

"Hm, nggak apa-apa. Jangan terlalu banyak over thinking, mungkin aja tante Amina ada alasan tersendiri, lo nggak boleh ngomong seperti itu lagi," tegur Nathan. Kirei hanya menurut.

***

Tepat di depan pintu ruangannya, Kirei masih mematung seakan ragu memasuki ruangannya sendiri. Melihat gerak-gerik Kirei yang tampak masih trauma, Nathan mencoba menepis perasaan trauma Kirei. Hingga ia sendirilah yang membukakan pintu untuk Kirei.

Keduanya berdiri kaku di ambang pintu, tampak Girald tengah berpikir sesekali berbicara ngelantur kepada Amina. Tanpa melihat ke arah keluarganya, Kirei melepas genggaman tangannya kemudian berjalan ke arah tempat tidurnya. Nathan pun turut mengikuti ke mana Kirei pergi.

Menyadari kedatangan Kirei, Girald langsung bangkit dari duduknya lalu menghampiri Kirei yang masih kecewa kepadanya. Rasa bersalahnya kian terasa ketika melihat mata sembab milik Kirei.

"Kak Girald minta maaf, ya. Kakak nggak bermaksud begitu ke kamu, kamu mau 'kan maafin kakak?" pinta Girald memelas. Tangan kiri Girald terulur untuk mengusap pelan kepalanya.

Kirei tidak merespon, tetapi matanya menatap malas ke arah Girald.

"Kiki ...."

"Maafin kakak ...."

Setelah cukup lama Girald memohon, Kirei yang masih mempunyai jiwa kebaikan pun mau menerima permohonan maaf Girald. Tanpa berucap, Kirei hanya mengangguk tanda ia sudah memaafkan Kakaknya dan memeluk erat tubuh Girald.

Kirei berbaring di tempat tidurnya tanpa meminta penjelasan lebih dari kedua orangtuanya, apalagi saat ini Andre dan Amina tengah fokus melihat dirinya seraya tersenyum. Tetapi Kirei tidak membalas senyuman itu, ia malah menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

Melihat perubahan sikap Kirei yang tadinya cerita, Andre langsung mengerti dan menarik kesimpulan jika putra sulungnya sudah memberitahu Kirei yang sebenarnya. Padahal mereka sudah berjanji jika mereka tidak boleh memberitahu Kirei sampai anak itu sembuh dari traumanya. Andre kemudian melirik tajam ke arah Girald.

***

Nathan pulang dalam keadaan lesu setelah menerima banyak sekali fakta hari ini ditambah lagi Mamanya sekarang tengah menatap tajam ke arahnya. Entah apa yang dirinya perbuat.

"Kamu nyakitin anak orang, ya? Mama nggak pernah ngajarin kamu buat nyakitin orang lain, Nathan! Kenapa kamu sampai setega itu bikin seorang perempuan menangis?" Mendengar ucapan sang Mama, Nathan terpaku. Ia tidak bisa menjelaskannya sekarang, terlalu rumit baginya jika membahasnya sekarang.

"Apa tadi Neysha nekat ke sini?" tanya Nathan ragu-ragu.

Lagi, Lusina masih melirik sinis ke arahnya. "Iya, Neysha juga ngadu ke mama, katanya kamu putusin dia tanpa alasan. Mama juga prihatin sama keadaan Neysha, dia dateng ke rumah sambil nangis. Bagaimana pun juga kamu itu laki-laki, Nathan. Harus bisa konsisten sama apa yang kamu perbuat, jelasin ke Neysha apa adanya. Jangan sampai kamu menyesali perbuatanmu," peringat Lusina. Akan tetapi Nathan yang cuek tidak menghiraukan peringatan Mamanya, Nathan masih teringat oleh wanita yang mengaku sebagai ibu Kirei.

"Cukup, Ma. Aku malas bahas masalah itu."

Lusina menghela nafas, ia masih tidak bisa meluluhkan hati dingin Nathan. Perasaan baru kemarin ia melihat anaknya seromantis itu di depan matanya, lah sekarang malah balik ke setelan awal.

"Sebelumnya aku mau nanya sesuatu ke Mama," tutur Nathan. Melihat keseriusan di wajah Nathan, Lusina pun mengangguk. Dirinya juga penasaran, tidak biasanya Nathan bersikap seperti ini jika tidak menyangkut soal ayahnya.

"Mama kenal sama tante Amina? Mantan istrinya om Andre?"

Mendengar pertanyaan Nathan, Lusina terkejut bukan main sampai-sampai dirinya tersedak kopi buatannya sendiri.

"Mama nggak kenal," jawabnya spontan.

Nathan tahu, Mamanya tengah berbohong. Dilihat dari raut wajah Mamanya yang berubah drastis menambah kecurigaan Nathan. Apalagi Nathan sangat tahu jika mereka sekeluarga sudah lama bertetanggaan dengan keluarga Andre.

"Mama nggak usah ngelak, aku cuma butuh penjelasan supaya aku bisa bantu Kirei keluar dari masalahnya."

Melihat keseriusan Nathan, mau tidak mau Lusina harus menjelaskan semuanya. Menghela nafas sebentar lalu membenarkan posisi duduknya kemudian mulai menjelaskan apa adanya, "keluarga Kirei hancur karena adanya kata 'pertemanan' di dalam keluarga mereka. Saat itu, Amina, Mama, dan Yura, berteman dekat sejak masa SMA dulu. Tapi, semuanya hancur ketika Amina berbaik hati menampung Yura di rumah mereka, hingga akhirnya Yura berkhianat dan menikam Amina dari belakang."

Lusina kemudian meletakan cangkir kopinya di atas meja sebelum kembali melanjutkan ucapannya.

"Mama nggak habis pikir sama jalan pikiran kotor Yura, dulu Mama sangat menghargainya. Sampai suatu ketika, Mama dan Amina memergoki Yura sedang berselingkuh bersama Andre. Nggak sampai disitu, Andre juga mengusir Amina dari rumah mereka. Bukan cuma keluarga Kirei yang hancur, tetapi keluarga kita ... keluarga kita ... juga han- ...."

Tanpa diminta untuk turun, air mata Lusina kian deras, bibirnya juga bergetar ketika ingin menjelaskan kebusukan Yura terhadap keluarganya juga.

"Keluarga kita juga hancur karena Yura, nak. Papa meninggalkan kita karena Yura, tepat setelah Yura berhasil menghancurkan keluarga sahabatnya sendiri, Papamu meninggal dunia karena serangan jantung setelah mendengar semua hartanya dibawa kabur Yura. Makanya ... Mama sangat melarang kamu berinteraksi dengan Yura, sekalipun ia berbuat baik di depanmu."

Mendengar ucapan Mamanya, Nathan bisa menarik kesimpulan jika Amina bukanlah orang jahat yang tega meninggalkan anak-anaknya. Tetapi, Nathan juga harus menerima kenyataan jika Yura sudah membuat ayahnya meninggal dunia. Sekarang Nathan juga tahu mengapa Mamanya selalu menutup mulut rapat-rapat ketika ia dengan sengaja menanyakan keberadaan Papanya.

Mencoba menenangkan Lusina, Nathan langsung memeluk Mamanya erat-erat sesekali mengusap punggungnya pelan untuk meredakan tangisan Mamanya.

- T B C -

EDELWEISS [On Going]Onde histórias criam vida. Descubra agora