29. EDELWEISS

36 7 3
                                    

Kelas terasa sunyi hari ini, tidak ada canda tawa yang menghiasi kelas. Bahkan, seorang penjahil handal seperti Dion dan kawan-kawan pun ikut tidak bersuara.

"Duh sepi banget anjir, gue seperti kehilangan sesuatu dalam hidup gue. Tapi apa ya? Apa jangan-jangan karna gue belum ngocok hari ini?" Dion menumpu dagu sembari melamun, tersirat dari matanya yang menggambarkan kesedihan.

"Gituan mulu pikiran lo!" seru Sasha. Menoyor dahi Dion.

"Maaf, yang. Nggak lagi-lagi deh, janji. Kamu tuh kalo nggak mau aku main solo harusnya bantuin," ucap Dion dengan polosnya.

"DION!!" Mendengar Sasha berteriak Dion hanya bisa nyengir kuda.

Tidak lama berselang Neysha datang bersama Nathan di sampingnya. Aksi keduanya tidak terlepas dari tatapan tajam dari teman-teman sekelasnya, terutama Alvino and the Geng.

"Ada cewek nggak tahu diri nih," cibir Sasha mencoba memancing keributan kembali.

Neysha menatap penuh ke arah Nathan, ia ingin meminta pembelaan. Namun, Nathan seolah-olah menutup mata dan telinganya. Dari matanya masih tersirat akan rasa bersalah terhadap Kirei. Di pikirannya saat ini hanya ada Kirei, Kirei, dan Kirei. Pria itu sangat menyesali perbuatannya terhadap Kirei. Andai saja saat itu dia tidak menerima tawaran Neysha, mungkin sekarang Kirei masih tertawa dan bercanda bersamanya.

"Kak Nathan kenapa diem aja? Aku lagi dibully sama mereka!" tekan Neysha mulai tersulut emosi di setiap katanya.

"Aku duluan." Nathan melenggang pergi begitu saja.

Tidak dapat menahan malu karena Nathan meninggalkannya begitu saja, Neysha mempercepat langkahnya menghampiri Nathan 'guna meminta penjelasan.

***

"Ki, bangun. Kakak bakal jelasin semuanya ke kamu, di saat Kakak cuek ke kamu, di saat Kakak nggak pulang-pulang. Di saat itu juga hati Kakak lagi hancur-hancurnya, kamu harus tahu, Ki. Kakak sayang sama kamu. Kakak minta maaf, hari itu nggak seharusnya Kak Girald bersikap kasar sama kamu," lirih Girald begitu lemah. Sembari terus menatap adiknya, air mata Girald tidak dapat terbendung lagi.

Agak lama Girald menatap Kirei yang berbaring lemah hingga terdengar nafas Kirei naik turun tak beratur, sesak nafasnya kembali terulang. Dengan cepat, Girald memanggil dokter. Untungnya dokter sampai tepat waktu.

Setelah berbincang-bincang mengenai penyakit Kirei, dokter tidak mengatakan jika Kirei mengelami penyakit pada umumnya. Hanya saja, trauma yang dirasakannya masih menggumpal di pikiran Kirei hingga membuatnya terkena serangan panik.

Girald menatap kepergian dokter kemudian duduk di kursi tunggu, menyesali semua perbuatannya selama ini karena tidak menjaga adiknya dengan baik. Kembali Girald mengeluarkan air mata sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menghubungi orangtuanya.

Panggilan pertama untuk Mama kandungnya. Mendengar jika Kirei dirawat, Mamanya langsung bergegas pergi ke rumah sakit tanpa mempedulikan perjanjiannya kepada mantan suami. Panggilan kedua untuk Papanya. Hanya saja, Papanya belum bisa menjawab telepon Girald lantaran masih ada orang-orang kantor yang harus ia urus terlebih dahulu, terlihat dari pesan yang baru saja masuk ke ponsel Girald.

Setengah jam menunggu Mamanya datang, Girald akhirnya menemukan titik temu, ia mengangkat kepalanya ketika sentuhan hangat mengusap pelan rambutnya.

"Mama," lirihnya langsung menghambur kepelukan Amina --Mama kandung Girald dan Kirei. Isak tangis keduanya pecah saat itu juga meski sedari tadi Amina berusaha setegar mungkin.

"Semua ini salahku, Ma. Aku yang udah bikin Kirei sakit. Aku menyesal karena nggak dengerin kata-kata Mama buat jagain Kirei selama Papa pergi. Aku malah keluyuran dan ngebiarin adik aku terluka."

"Jangan menyalahkan dirimu, nak. Yang terpenting sekarang, kita berdo'a agar adikmu cepat pulih dan ceria seperti dulu lagi. Ingat pesan Mama, kamu nggak boleh bilang kalau kamu salah. Kamu harus janji sama Mama, kamu nggak boleh ngomong seperti itu lagi," pinta Amina diangguki cepat oleh Girald meski tangisannya masih terdengar. Bilang saja Girald cowok cengeng, andai mereka tahu sesakit apa melihat adik kesayangan terbaring tidak sadarkan diri di rumah sakit.

Amina menatap nanar anak perempuannya, untuk pertama kalinya ia menyentuh tangan dingin Kirei setelah belasan tahun tidak menyentuh anaknya. Semenjak perpisahannya bersama sang suami, Amina tidak pernah lagi menggendong gadis kecilnya. Jangankan menggendong, bertemu saja sangatlah sulit.

Ingin melepaskan kerinduan, Amina mencium lembut kening Kirei. Meredam rasa sakitnya selama ini, sakit akan kerinduan, sakit akan kepedihan fitnah yang menerpanya hingga berujung menjanda. Setelah puas, Amina beralih ke tangan Kirei, ia mengusap pelan lalu menangis sejadi-jadinya sembari mengucapkan kata maaf berkali-kali.

Dering ponsel Girald memecahkan keheningan, bergegas Girald menerima panggilan dari Papanya.

"Assalamualaikum, Pa."

"Waalaikumsalam, ada apa Girald? Maaf, tadi Papa nggak bisa angkat telpon."

"Nggak apa-apa, Pa. Lagi pula masalah ini bukan masalah penting bagi Papa."

Terdengar helaan nafas dari sebrang sana.

"Masalah apa memangnya? Cepat kasih tahu Papa, barangkali Papa bisa bantu," ucap Andre enteng, seakan tidak terkejut jika Girald memberitahu semuanya.

"Kirei dirawat di rumah sakit, dari kemarin belum sadarkan diri."

Bagaikan disambar petir di siang bolong, Andre terpaku mendengar ucapan anak sulungnya. Sesak di dadanya terasa, Andre sangat tahu sekuat apa tubuh Kirei. Bahkan, untuk pertama kalinya ia mendengar Kirei terbaring di rumah sakit.

"Hallo, Pa?" panggil Girald, tak ada lagi sahutan dari Papanya setelah sepuluh menit berlalu. Hingga Girald dengan sangat terpaksa dan belum puas langsung mematikan telepon sepihak.

Hari itu juga Andre memesan tiket pesawat agar bisa menemui anaknya. Dia tidak peduli dengan urusan kantornya, yang terpenting sekarang Andre harus menemui buah hatinya.

***

"Kak Girald, Kirei laper," rengek Kirei sembari mengusap perutnya pelan.

"Bentar, ya. Kakak ambilin dulu," ucapnya kemudian mengacak-acak sayang rambut adiknya.

"Okay! Jangan lama ya, Kak. Oh iya, Kiki nggak mau makan-makanan rumah sakit. Kata Nathan makanannya nggak enak, Kiki maunya nasi padang." Girald berbalik badan tetapi tidak mengurungkan niatnya untuk mengembalikan makanan dari rumah sakit ke tempatnya semula.

"Kamu, kan, lagi sakit nggak boleh makan itu dulu. Harus makan ini, biar cepat sehat."

"Kak Girald udah janji loh sama Kiki buat turutin semua yang Kiki mau!" sergahnya tidak mau kalah. Persetan jika kesabaran Girald setipis tisu nantinya.

"Kiki makan ini dulu, ya. Mau disuapin nggak?" tawar Amina. Sedari tadi ia hanya menyimak interaksi kedua anaknya, meski sesekali ia tertawa pelan melihat tingkahnya.

Menyadari orang lain berada di dalam kamarnya, Kirei lantas menatap ke arah Girald meminta penjelasan. Namun, Girald malah bungkam.

"Tante siapa, ya? Apa tante ini adiknya Papa? Soalnya wajah tante mirip banget sama Papa."

Hati Amina teriris mendengar ucapan anak kandungnya sendiri, bagaimana bisa anak yang lahir dari rahimnya sendiri tidak mengenali dirinya.

"Kiki nggak boleh ngomong gitu!"

"Kok Kak Girald jadi marah sih, kan aku cuma nanya, kak. Maafin Kiki deh kalo pertanyaannya salah."

"Girald nggak apa-apa, kok. Jelasin perlahan aja, nanti Kiki bakal ngerti sama apa yang terjadi selama ini." Girald mengangguk, membenarkan kata-kata Mamanya. Apalagi saat ini Kirei masih masa pemulihan dari traumanya.

Pintu terbuka lebar, Andre masuk perlahan ke ruang rawat putrinya. Air mata tidak bisa ia bendung lagi ketika melihat putrinya masih dalam keadaan yang sama, seperti apa yang dikatakan Girald lewat telepon.

- T B C -

EDELWEISS [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang