47. Taman Labirin

579 103 6
                                    

Merasa lelah berlama-lama di tengah keramaian manusia, lagi-lagi aku memutuskan untuk menyingkir dari aula pesta. Oh ya, saat ini aku masih berada di aula pesta karena pestanya yang belum juga kunjung usai, biasanya ketika waktu telah menunjukkan pukul 00.00, barulah pesta selesai digelar.

Para tamu tidak diperbolehkan pulang sembarangan begitu saja sebelum pidato penutupan pesta diucapkan oleh sang Raja atau perwakilan Raja secara langsung, maka dari itu meski sudah larut malam begini, suasana di aula perta masih terasa sangat meriah dan berisik.

Setelah beberapa saat menyingkir dari lantai pesta, aku menemukan jalan menuju balkon yang tertutup gorden, aku menuju kesana tanpa pikir panjang.

Aku menyibak gorden yang menghalangi balkon, dan spontan mengeluarkan unek-unekku yang telah lama kutahan. "Pesta sialan," gerutuku seraya menyibak gorden.

Wushh...

Angin segar menerpaku begitu aku membuka gorden, dengan senang hati aku berjalan ke sisi pinggir balkon, sambil berpegangan pada pagar balkon, aku mulai menghirup udara segar dalam-dalam seraya memejamkan mata.

"Huft.. Akhirnya aku terbebas juga!" gumamku lega.

"Terbebas? Dari apa?" sahut sebuah suara di belakangku tiba-tiba.

Saat aku berbalik ke belakang, aku mendapati seorang pria bangsawan berambut ungu pekat yang dengan santainya bersandar di tembok, posisinya tepat di sebelah gorden yang barusan kulewati.

Aku menahan ekspresi kejutku dan berusaha agar terlihat tetap tenang, karena meskipun wajahku hanya terlihat bagian mata saja karena masih menggunakan cadar, namun aku tahu ekspresi dan emosi seseorang bahkan bisa terlihat walau hanya dari pancaran matanya saja.

'Theo?! Tunggu, sejak kapan dia disana?' Batinku ketika mendapati pria tersebut yang ternyata adalah Theo Xavier Aillard, anak sekaligus penerus dari seorang bangsawan Earl Aillard.

Iris mata kami yang sama-sama berwarna hitam pekat bertubrukan sesaat sebelum akhirnya Theo mengalihkan atensinya pada langit malam yang tengah disinari bulan purnama yang indah.

Jika kalian lupa, saat masih awal-awal aku survive di dunia ini, orang ini telah berjasa menolongku saat aku sedang kesulitan dulu.

Tidak mungkin aku melupakan saat itu, saat dimana ia menolongku dari penjara istana menggunakan sihir teleportasinya, ia juga bahkan memberikanku tumpangan tempat tinggal sementara di mansion pribadinya setelahnya.

Tidak hanya itu, aku ingat dia juga sempat memberiku sebuah kalung dengan liontin violet sebagai tanda perpisahan, atas perbuatannya itulah aku jadi memiliki hutang padanya yang bahkan sampai kini pun belum bisa kubayar.

"Ah, maaf telah mengacau di tempat istirahat anda, Tuan," ucapku yang mencoba bersikap biasa saja.

"Wahh... Padahal aku sedang bertanya loh... tidak mau menjawab, ya?"

Aku terdiam mendengar ucapannya, bingung harus menjawab apa. Terlebih lagi, bagaimana mungkin dia bisa mendengar gumamanku? Aku yakin sekali bahwa aku telah bicara sangat pelan.

"Tadi kau bilang apa? Sialan? Pesta sialan itu yang kau maksud?" ujarnya lagi.

Sementara merasa bingung harus menjawab apa, aku mengangguk ragu sebagai jawaban.

"Hahaha, kau memang benar. Para bangsawan tukang gosip dan penjilat itu benar-benar membuatku muak, makanya aku kesini untuk sekedar mencari angin," tuturnya tanpa peduli dengan sikapnya yang kelewat santai.

"Ah, kalau begitu Lady ini merasa bersalah karena telah mengganggu tempat mencari angin anda, mohon maafkan Lady rendahan ini, Tuan." Aku menunduk seraya mengangkat sedikit gaunku diakhir kalimat.

So I'm a Bug, So What?Where stories live. Discover now