29. Cincin pemanggil

698 116 2
                                    

Sesaat kami terpaku satu sama lain. Dan seketika aku terkesima dengan paras indahnya, rambut coklatnya yang terkena sinar matahari itu terlihat bergradasi dan terkesan begitu hangat, ditambah lagi dengan warna matanya yang kurasa memang cocok disandingkan dengan warna rambutnya.

Kemana saja aku daritadi hingga baru menyadari indahnya rena mata yang berwarna oranye cerah itu. Sangat menocolok kurasa. Butuh waktu lama bagiku untuk menyadarinya. Mungkin karena sedari tadi aku terlalu bersemangat serta terlalu sibuk untuk latihan berkuda hingga tak mempedulikan parasnya yang sebenarnya tampan itu.

Setelah tersadar dari lamunanku, aku mengerjapkan mataku dan membuang muka ke arah sebaliknya. Aaa, aku sungguh malu. Kurasa kami sempat bertatapan selama 5 detik, tapi bagiku itu terasa seperti lamaaa sekali.

Setelah beberapa detika berlalu, William kembali tak mengeluarkan suara, itu membuatku gugup. Tapi, mau sampai kapan kami begini? Maka dari itu aku pun berusaha memberanikan diri untuk membuka percakapan lagi di antara kami guna mengunsir situasi awkward ini.

"Eum, Liam"

"Yvonne"

Kami saling memanggil satu sama lain secara bersamaan, astaga, kok bisa? Hanya kebetulan kecil sebenarnya, tapi aku merasa malu karenanya.

Aku tidak tahan lagi, segera aku bangkit dari posisi rebahanku itu dan kembali pada posisi duduk, merasa tak ingin berlama-lama lagi dengannya. Jika saja aku tidak punya hutang padanya sudah pasti aku kabur meninggalkannya sedari tadi.

"Pftt ... Ahahahaa" Terdengar gelak tawa dari William. Sepertinya baginya itu hal enteng sekali, sangat berbanding terbalik denganku.

Ck, aku sangat tidak menyukai momen-momen yang seperti ini.

"Mau kau yang bicara lebih dulu atau aku?" tanya William.

Aku berusaha menjawab dengan menahan perasaan maluku tanpa menoleh padanya "Terserah!" jawabku ketus. Padahal aku tidak bermaksud begitu, hanya saja aku berusaha menahan rasa maluku yang datang entah darimana.

"Pftt .." Lagi-lagi dia menahan tawanya seakan memang berniat menjahiliku. Kalau perilakunya menyebalkan seperti itu, aku jadi teringat akan sikap Theo yang juga berlaku serupa. Huft, sangat menyebalkan.

"Hahaha.. Baiklah-baiklah, mari kita mulai biacarakan tentang bayarannya." William berkata sambil memposisikan dirinya seperti aku.

Baiklah, kurasa saat ini dia sudah mulai serius, "Jadi, apa kau sudah menentukannya?"

"Masih belum"

"Hah?" Aku tercengang sesaat, bahkan setelah berjam-jam berlalu dia masih belum juga memutuskannya? Aishh, yang benar saja.

"Sudahlah, sebutkan apa saja" balasku enteng.

Terkesan menggampangkan memang, habisnya mau bagaimana lagi? Sampaikan 'kan, kita akan begini terus? Sementara aku sendiri merasa sudah harus kembali melanjutkan tujuanku yang sempat tertunda. Sementara William sendiri, aku yakin pria pekerja keras seperti dirinya seharusnya disibukkan oleh tugas-tugas dari pekerjaannya. Apalagi dia berkata dirinya memiliki banyak uang, jadi kemungkinan besar ia adalah seorang pengusaha.

"Sebenarnya aku benar-benar tidak membutuhkan apa pun saat ini, maka dari itu aku jadi bingung mau meminta apa padamu" Aku menolehkan kepalaku pada William, ekspresinya terlihat seperti tengah berpikir.

"Hmm, begitu ya."

"Yvonne, apa kau tahu mengenai cincin pemanggil?"

"Ah, ya. Tentu saja aku tahu"

'Bahkan aku yang paling tahu dari siapa pun' lanjutku dalam hati.

"Aku memilikinya sepasang,"

Aku mulai curiga atas pekataannya tersebut, "Lalu?"

So I'm a Bug, So What?حيث تعيش القصص. اكتشف الآن