31. Serangan tak terduga, lagi?

610 100 0
                                    


Pria yang tak lain adalah Julius itu dengan entengnya nyengir tanpa dosa. Aku hanya tercengang dalam diam, tidak tahu mau berbuat apa. 'Apa Julius memang seperti ini?'

"Hai!" sapanya dengan enteng.

"H-hai(?)" aku bingung mau balas apa, tapi disisi lain aku tahu masih memiliki hutang budi padanya karena ia pernah menolongku saat di rumah pelelangan waktu itu. Apa dia datang untuk menagih hutang itu?

Tanpa kata, pria itu menatap pada menu makananku dan setelahnya ia melihat wajahku dengan tatapan bingung sementara aku hanya menyeruput kopiku dengan khidmat. Menahan percakapan hingga ia yang memulai duluan.

Aku mengerti apa yang saat ini tengah dipikirkannya, sepiring spaghetti dan secangkir kopi, terlihat aneh bukan? Tapi apa peduliku? Yang penting aku menikmatinya saja dan itu sudah cukup.

"Lama tak berjumpa" ujarnya lagi kembali membuka percakapan sambil masih terus mengambil kentang gorengku.

Ia terus memakannya tanpa seizinku. Awalnya masih kubiarkan, tapi kenapa dia malah keterusan?

"Itu miliku" gumamku tanpa sadar, aku menyipitkan mata, merasa agak tak rela atas tindakannya itu.

Sedangkan sang empu hanya cuek saja, diantara pura-pura tak dengar atau memang suaraku yang kalah oleh suasana kedai yang cukup ramai saat ini. Kembali kulanjutkan memakan hidangan spaghetti-ku, berusaha tak peduli dengan apa pun yang tengah dilakukan pria di hadapanku ini.

"Pfft .." Aku mencuri pandang ke arahnya, dan ternyata dia sedang menahan tawanya. Memangnya apa yang lucu?

"Astaga nona, wajah tak relamu itu sangat kentara sekali." Julis berkata sambil masih mengunyah kentang gorengku.

Aku membuang muka ke arah jendela, merasa malu apabila yang dikatakannya itu benar. Oh, tak terasa spaghetti-ku sudah habis. Kembali kuteguk kopiku yang kini tersisa sedikit.

"Kau suka hujan?" tanyanya yang seperti terlihat berusaha sekali mencari topik untuk bicara denganku.

Aku mengangguk, "Sangat, hujan membawa kesan tersendiri bagi pecintanya" tanpa sadar aku tersenyum saat mengatakannya.

"Padahal itu hanya air yang jatuh dari langit" gumamnya yang dapat terdengar olehku, sejenak aku tertegun, kembali kuletakan cangkir kopiku di meja dan menatap intens padanya.

"Air hujan itu berasal dari awan, bukan dari langit!" tegasku yang refleks menggebrakkan meja dengan kekuatan sedang, membuat beberapa pasang mata lain menatap ke arah kami dengan tatapan beragam. Sebenarnya ia tak sepenuhnya salah juga sih, awan 'kan memang berada di langit.

Astaga, aku menyesali tindakan bodohku itu, harusnya dari awal aku maklumi saja perkataannya karena ilmu pengetahuan sekelas anak SD pun belum diketahui di era ini. Contohnya, mereka masih berpikir bahwa bernapas itu menghirup udara, padahal 'kan yang benar itu oksigen.

"Begitukah?" Julius memiringkan kepalanya, menatap ke atas ke luar jendela, aku mengikuti arah pandangnya, hujan di luar sana terlihat masih sangat deras mengguyur kota.

"Lalu bagimana caranya awan menghasilkan air?"

Dengan entengnya aku pun menjawab, "Air yang ada di bumi menguap ke atas karena terkena sinar matahari. Uap itu terkumpul di udara dan membentuk awan hingga kondisi awan yang sudah terlalu padat tidak bisa menahan uap air dan jadilah hujan." Jelasku singkat, serasa mengajari anak SD.

"Ternyata kau tau banyak mengenai hujan, ya"

"Tidak juga, itu 'kan hanya pengetahuan dasar" balasku acuh tak acuh.

So I'm a Bug, So What?Where stories live. Discover now