30 - Kotak Permen

336 34 9
                                    

"UDAH kabarin Nilam?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"UDAH kabarin Nilam?"

"Hm-hm. Nanti aku chat lagi mungkin sebelum boarding."

"Udah beli oleh-oleh? Nggak ada yang ketinggalan, kan?"

"Kemarin aku beli magnet kulkas dan camilan supermarket untuk Nilam habis kamu pulang."

"Udah siapin semua dokumen pentingnya di tas?" Alder menunjuk tas putihku.

Kutepuk tasku dua kali. "Semuanya ada di sini."

Bus kami berbelok melintasi alun-alun dengan taman asri dan gereja bermenara kembar. Kota ini boleh saja kecil, tetapi rasanya aku masih tertinggal banyak hal menarik seperti arboretum dan alun-alun itu. Tentu, hari-hariku penuh karena bersama Alder, dan justru itulah yang mendorongku berpikir kami bisa saja melewati lebih banyak untuk tinggal sedikit lebih lama.

"Menurut kamu, apa nanti kita bisa ke sini lagi?" tanyaku.

Alder menoleh dari arah jendela kepadaku. "Kamu mau?"

"Aku bersyukur kita ketemu di sini, tapi ..." imbuhku, "kalau kita agendakan tiap tahun, merepotkan juga. Tapi mungkin di masa depan Tata jadi lebih terkenal dan aksesnya jadi lebih mudah untuk turis mancanegara."

Dia menggaruk kepalanya. "Seharusnya dulu aku ajuin kota yang gampang, ya. Banyak kota di Indonesia yang mirip nama orang, kan? Tegal, misalnya."

"Adanya Tegar, Alder. Pakai r."

"Loh, bukannya Tegar judul lagu?"

Aku kehabisan balasan. Kulempar senyum menyerah dan memalingkan wajah.

"Kamu capek, ya, sama aku?" Alder menunjuk dirinya sendiri. "Bercandaanku garing terus."

Kugelengkan kepala. Jawabanku payah, tapi biarlah. "Aku suka garing."

"Ini serius." Raut mukanya menyesuaikan. "Kemarin aku terlalu lama ambil waktu sendiri. Yang biasanya aku tahu mau ngomong apa sama kamu, mendadak ragu dan takut kamu pergi karena sakit hati. Maaf udah bikin kamu merasa asing sama aku. Waktu itu, aku sibuk marah sama yang nyakitin kamu dan berandai-andai gimana kalau aku lebih peka, lebih cepat tanggap, lebih sering menghargai kamu. Sebenarnya aku suka pengin balas 'kamu cantik' tiap dikirimin foto, tapi ya ... aku malu." Tawanya bercampur canggung. "Siapa aku boleh puji-puji kamu."

Belum sempat aku menyela, dia menimpali lagi.

"Lalu, kita ketemu. Barulah aku sadar rasa nggak PD-ku sia-sia. Aku sampai lupa pernah titip kamu ke teman-teman di Jakarta kalau-kalau, hm, aku berulah, sakingaku merasa senyaman dan sebahagia ini. Kamu bikin segalanya lebih manis dari kue vanila. Bahkan di tengah keraguanku, kamu tetap yakin aku bisa lebih baik. Kupikir, aku pasti kelewat bodoh kalau mementingkan racun di otakku daripada kamu, yang jelas-jelas selalu ada sampai detik ini. Habis merenung begitu, aku lari, kehujanan, terus ketemu kamu lagi, deh."

Tündérrózsa - Mawar PeriWhere stories live. Discover now