10 - Denting Piano

142 40 6
                                    

PAGI dan sepeda mengantarku pada memori yang bisa saja terempas angin debu bertahun lalu, tapi nyatanya masih mendebur di kepalaku

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

PAGI dan sepeda mengantarku pada memori yang bisa saja terempas angin debu bertahun lalu, tapi nyatanya masih mendebur di kepalaku. Seperti kebanyakan hari Minggu yang kami lalui, Bapak membawa sepeda balapnya, Ibuk mengendarai city bike, dan aku dengan sepeda berkeranjangku di depan mereka, berputar dan berputar dan tertawa sambil berpura-pura saling membalap, mengisi lahan kosong terdekat di pantai yang nantinya menjadi Taman Spanyol. Pagi di daerah kami hampir selalu disinari cahaya emas fajar yang tak hanya membias, tetapi mengguyur. Dan kami hampir selalu beristirahat di bawah pohon ketapang yang sama, Bapak dan Ibuk mengobrol, aku membaca buku yang kubawa.

Bedanya, matahari terbit pagi itu muncul bagai kresendo terakhir dalam orkestra. Indah dan nyaring dan mencuri napasku. Aku sampai meletakkan The Secret Garden di pangkuan untuk menyaksikannya, merelakan lima halaman terakhir untuk pertunjukan ini. Ibuk yang mendapatiku memandang takjub berkata, ingatlah ini kalau kamu kangen rumah. Mereka ingin aku berkuliah di luar kota, suatu saat nanti, kelak aku besar, dan itu sebabnya beliau mengatakan itu. Mereka memercayainya.

Tidak ada sinar sekencang orkestra di Tata pagi ini, alih-alih lebih mirip denting rendah piano. Punggung Alder persis di depanku. Helai rambutnya yang hitam dan halus tersapu angin, senada gerakan daun-daun di pepohonan yang kami lewati. Bibirku tersenyum; kupikir mustahil menilai seseorang menarik dari profil belakangnya sampai kulihat dia. Kami juga menonton matahari terbit pada hari terakhir dia dan keluarganya menginap, sebelum mereka bertolak ke pulau di seberang dan pulang lagi ke Jakarta.

Alder berbelok, kemudian berhenti di tepi jalan. Masih di sepedanya, dia mengeluarkan ponsel dan mengecek rute. Aku menyetop dan mendekat pelan.

"Benar lewat sini, kan?" Dia meminta persetujuanku. Ditunjukkannya layar ponsel.

Kuperhatikan peta lalu jalanan sekitar. "Kayaknya ... ya. Cuma ini belokan di depan toko roti."

"Kalau kita tersesat, kamu nggak bakal ninggalin aku, kan?"

Kukedikkan bahu seraya menahan tawa. "Maunya kamu gimana?"

"Ya, jangan ditinggalin, lah," ucapnya dengan nada main-main lantas menyeringai. "Eh, aku belum bilang, ya, hari ini kamu mirip tuan putri?"

Aku tak memilih untuk tertawa, menggeleng, menggerutu, atau balik merayu-seandainya itu rayuan. Entah dari mana datangnya keberanian ini. Kutegakkan punggung dan kuangkat sedikit daguku. "Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan, Paduka."

Alder mengangguk. Dari sepeda, dia berusaha membungkuk hormat. "Baik, Yang Mulia!"

Aku tidak langsung menyusulnya saat Alder maju. Baru setelah jantungku melambat ke normal, kukayuh sepeda pinjaman ini lagi.

Syukurlah jalan yang diambil ini benar mengarah pada jalan setapak bersisi pepohonan dan semak rapi, setelah melalui hotel dan deretan mobil yang parkir. 'Setapak' yang kumaksud memuat sekitar tiga orang berjalan beriringan, yang artinya pesepeda harus bersabar untuk tidak menyalip ketika jalan sedang penuh. Walau begitu, tak ada alasan untuk terburu-buru, terutama ketika keramaian yang terjadi hanya setengah dari yang kubayangkan, dan kicau burung lebih bersahutan dan dekat ketimbang di Danau Tua. Sembari melewati pengunjung yang mengobrol, tak hanya kutangkap bahasa Hungaria, tetapi juga bahasa Inggris, bahkan bahasa dari Asia. Ini seperti semua turis setuju untuk menghabiskan pagi mereka di sini.

Tündérrózsa - Mawar PeriDonde viven las historias. Descúbrelo ahora