2 - Berry Parfait

413 69 10
                                    

ALDER dan aku bertemu saat aku berusia sepuluh tahun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ALDER dan aku bertemu saat aku berusia sepuluh tahun. Keluarganya menginap di Sriwedari. Sepuluh tahun berselang, berkat janji kita harus ketemu lagi di kota Tata, kenangan menatap cakrawala di depan laut bisa jadi terulang; bedanya kini pada danau di kota kecil Eropa Tengah.

Kemarin dia mengabarkan akan bermalam di penginapan dekat danau itu lima hari ke depan. Berlanjutnya komunikasi kami sejak kali pertama bertemu saja sudah merupakan keajaiban. Dia lebih tua setahun dariku, tapi menolak dipanggil Mas atau Kakak. Nama panggilannya saja. Aku sempat bangga bisa menghafal nama panjangnya yang membuatnya meringis, El Aldero Vadi Putra Yuwono, sedangkan dia kerap mengatakan Astrawayana sebelum mengoreksinya terbata dan mengklaim sebagai namanya. Alder As-tra-na-wi-ya, diganti mulai sekarang, ya! Aku tak pernah tak tertawa mendengarnya.

Menakjubkan melihat selama satu dasawarsa ini bahwa Alder tak pernah berubah. Sedikit pun. Bahkan senyumnya. Ujung kanan bibirnya akan sedikit lebih naik bila dia tersenyum, dan yang terlintas di benakku adalah croissant dengan kulit renyah dan isi yang lembut. Dia terkekeh ketika mendengarku berpendapat begitu di chat-dengan menghilangkan penjelasan renyah dan lembut sebelumnya, karena itu terlalu memalukan. Sebentar lagi, kami akan bertatap muka dan aku tak mau memikirkan bagaimana reaksiku kelak. Kata 'bertemu' pun awalnya sangat jauh dari bayangan. Akan tetapi, ya, aku bahagia.

Dia sudah berjasa banyak untukku. Bahkan jika dia tak menyadarinya.

Di luar sepuluh menit istirahat siang, tidur yang kubutuhkan tak kunjung datang sampai lewat pukul sembilan. Kuminum obat sakit kepala untuk mengurangi pening sebelum merebahkan diri lagi. Dalam remang lampu tidur, warna rambutku berubah serupa api, dan sejujurnya, aku belum terbiasa. Sepanjang perjalanan pun sering kututupi dengan tudung atau topi, terutama saat merasa diperhatikan. Ini perubahan drastis pertamaku—dan yang sangat kubutuhkan, menurut Nilam. Hubungan kami tak semulus sahabat-sahabat dalam novel. Kami sempat renggang di kelas sebelas, tapi lantas berbaikan sebelum lulus. Dia juga peganganku, seorang pendorong terbaik. Aku memutuskan mengirim Nilam pesan teks untuk mengisi sisa malamku.

Besok saatnya. Minta doanya, ya. Maaf jadi ganggu tidurnya.

Nilam membalas dengan menelepon.

"Nggak bisa tidur?" sapanya, selalu tanpa tedeng aling-aling.

"Kamu pasang jam Hungaria di HP?" godaku.

"Terus?" ucapnya seringan gulali. "Toh, nggak repot juga."

"Sebentar, kamu nggak lagi bergadang revisi skrispsi, kan?"

"Cuma kebangun biasa, kok. Jadi, kenapa nggak bisa tidur?"

Bayangan tanganku di dinding atap yang miring bergerak mengikuti arahan jari-jemariku. "Hm, apa, ya? Aku juga bingung. Mungkin karena dinding putihnya lebih terang daripada dugaanku. Jendelanya juga. Dan alasan-alasan lain kita pilih penginapan ini. Makasih, ya."

Tündérrózsa - Mawar PeriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang