11 - Jaket Alder

113 38 12
                                    

PRIA itu memanggilku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

PRIA itu memanggilku. Dia mendekatiku, melihatku, berkata padaku. Satu tangan memegang kamera profesional, tangan satu lagi mengangkat ponsel seolah sedang merekam. Aksen bahasa Inggrisnya bukan dari negara berbahasa Inggris—aku cukup mengenali ini berkat tamu-tamu Sriwedari—sedangkan jika dia seorang Magyar, semestinya dia memilih bicara dalam bahasanya karena tak melihat wajahku dulu.

Sebelum menyadari semua itu, aku hanya bergeser, mengira dia pengunjung yang hendak memfoto tempat ini. Sekarang aku sungguh yakin kamera ponselnya merekamku. Badanku menegang; Alder menyadarinya. Dia maju ke arahku untuk menghalangi pria itu, yang berhasil membuat langkahnya terhenti, tetapi tak menghentikannya mengarahkan ponsel itu padaku.

"Maaf," ujarnya. Profil wajahnya penuh kontras—kulit putih kemerahan dan alis legam, hidung ramping mancung, rambut wajah halus. Sejak komentar Szabina, aku diam-diam mencermati wajah penduduk yang kutemui, dan walau kuragukan persamaannya dengan milikku, dia ada benarnya. Ada yang khas dari Hungaria, bukan Polandia, bukan Slovenia, bukan Turki. Dan dari sekian variasi, intuisiku menyarankan dia orang Eropa—tapi bukan negara ini. Kudapati pengetahuan itu dari mengamati tamu asing bertahun-tahun. "Saya ingin meminta waktunya sebentar, jika Anda mengizinkan."

Alder bertanya padaku lewat tatapannya. Aku menunduk. Apa yang sedang pria itu rekam? Mengapa harus aku? Bagaimana jika itu siaran langsung, dan Tante, bagaimanapun caranya, menontonnya? Alder semakin melangkah maju dan herannya, pria itu tetap berjalan alih-alih berhenti. Kakiku terpaksa mundur untuk menjauhinya.

"Saya Rémy, fotografer. Saya dari Paris. Anda bisa melihat karya saya di Instagram dan TikTok @remy.onthestreet. Saya memotret orang yang saya temui dalam perjalanan, dan sekarang saya sedang berlibur ke Hungaria. Tetapi sebelumnya, saya ingin mengatakan Anda cantik sekali. Bolehkah saya mengambil foto Anda?"

Kubalas 'thank you', tapi aku pun ragu apakah suaraku terdengar. Langkah Alder kian mendekat hingga Rémy sedikit menurunkan tangannya yang memegang ponsel, seakan enggan jika Alder muncul di kameranya. Keduanya bertatapan.

"I'm sorry, but I don't think she's comfortable with this," bela Alder.

"Mungkin kita berdua bisa tanya dia," balas Rémy. "Apa Anda keberatan, Nona?"

"Saya bisa menanyakannya secara privat. Boleh kami minta waktu?"

Rémy terdiam, tetapi akhirnya mundur. "Oke, maafkan saya. Silakan."

Alder membalik badannya dan menjauh, lalu menungguku mengikutinya. Kecanggungan menebal. Rémy yang tak beranjak sedikit pun, Alder yang berbisik, dan kegelisahanku yang mengambil alih mulai memberatkan jalanku. Aku baru menangkap yang Alder ucapkan ketika dia mengulangnya untuk kali kedua.

"Kamu nggak apa-apa? Kalau nggak mau, kasih tahu aku."

Akan tetapi, sampai kapan aku menghindar?

"Nggak usah nggak enakan, Kalyn. Dia juga nggak berhak buat merekam kamu."

Tündérrózsa - Mawar PeriWhere stories live. Discover now