5 - Kapal

228 52 3
                                    

"GIMANA kabar semuanya di sana?"

Ups! Tento obrázek porušuje naše pokyny k obsahu. Před publikováním ho, prosím, buď odstraň, nebo nahraď jiným.

"GIMANA kabar semuanya di sana?"

Perjalanan kami berlanjut ke arah timur. Menyamping ke kiri, Tatai vár—Kastel Tata—membusung dalam susunan bata abu-abu kecokelatan, bergenting jingga dengan sebuah bendera merah-putih-hijau di puncak atap tertingginya. Lengkungan berujung lancip seperti pada aksen yang membingkai dinding dan langkan, lis bergigi, juga pola tulang ikan di pintu memperkaya dominansi garis tegak lurus. Keseluruhan bentuknya terkesan kuno, tetapi kesenjangan nuansa pada beberapa konstruksi menandakan renovasi yang terjadi lama setelah pembangunannya. Hampir mustahil kami melewatkan tempat ini, karena selain dekat dari titik pertemuan kami, kebanyakan foto Danau Tua yang kutemukan turut menghadirkannya. Seolah sang danau senantiasa memamerkan perhiasan termahalnya yang tak pernah dilepas.

Alder bertanya saat kami berbelok ke pekarangan kastel. Hanya museum Kuny Domokos di dalam kastel yang memerlukan biaya kunjungan.

Kupindai pohon-pohon cemara pensil yang pucuknya merunduk dibuai angin sebelum menoleh padanya. "Sehat. Nilam masih garap skripsi, targetnya bisa lulus tiga setengah tahun. Bu Indri udah pulang dari pengangkatan jabatan anaknya, jadi sekarang Pak Alit fokus di pembukuan lagi. Tapi, front office dipegang beliau sesekali. Tante Jani masih di Makassar."

"Nilam mau lulus tiga setengah tahun?" ucapnya kagum. "Jurusan Sejarah, bukan?"

"Pendidikan Sejarah. Kalau lancar, rencananya dia mau lanjut S-2 di luar kota."

"Ah, baguslah. Di Arsitektur, aku suka bingung sebetulnya kuliahnya yang memang terlalu susah, atau aku yang terlalu malas." Dia menggaruk kepalanya. "Atau dua-duanya."

"Jadi, gaya kastel ini dari era mana?"

"Wow, wow, apa ini? Pop quiz?" tangan Alder mengangkat setinggi dada, dan wajahnya yang terkejut tadi cepat berubah menjadi senyum lebar. "Ini ngetes atau tanya betulan?"

"Tergantung gimana jawaban kamu. Serius atau bercanda." Kutunjukkan senyum jail sebisaku.

Alder melayangkan tatapannya dari jam matahari ke arah kastel. Gerakan matanya menelusuri tangga bersusur besi tipis hitam di samping, lalu menengadah ke menara, kemudian turun. "Abad pertengahan. Bentuknya kayak benteng di zaman itu. Tapi jendelanya diganti jadi gaya gothic. Renaisans? Leo lebih tahu." Dia menyebut nama teman sekampusnya.

Aku mengangguk-angguk. "Leo jadi ikut Parade Kota Tua yang kamu ceritain itu?"

"Eh!" Alder terkesiap. "Hari ini, ya? Aku ada ide—kita belum pernah foto berdua lagi. Sekalian tunjukkin kastel ini ke Leo biar dia iri. Mumpung di sana juga masih siang. Gimana, Kalyn?"

Alisku bertaut. "Dia teman baik kamu, kan?"

"Ya, tapi dia juga yang ngatain aku tukang mimpi. Katanya kamu nggak mungkin mau ketemuan sama aku. Sini, sini! Bakal bagus, nih, foto dari sini!" Dia melambai seraya mendekat pada bagian kastel yang memanjang dihias beragam jendela lengkung dan kotak.

Tündérrózsa - Mawar PeriKde žijí příběhy. Začni objevovat