7 - New Wave

146 47 15
                                    

SEEKOR kupu-kupu putih melintasiku dan Alder sebelum membubung ke langit, seakan menyusul matahari

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

SEEKOR kupu-kupu putih melintasiku dan Alder sebelum membubung ke langit, seakan menyusul matahari. Di bagian tepi danau ini, lebih sedikit orang yang kami temui, sebatas satu-dua yang menuntun anjing-anjing mereka dari arah berlawanan. Papan nama restoran ketiga yang hendak kami datangi semakin terlihat jelas. Setelah restoran kedua yang buka dua puluh menit lagi dan kedai piza yang Alder lihat kali pertama bertanda CLOSE tanpa seorang pun untuk ditanyai, dia pasti berharap kami bisa tiba tepat pada waktu buka.

Di depanku, Alder memelankan jalannya, menungguku sejajar di sampingnya sebelum kami menghampiri tempat makan itu. Pintu kacanya tidak hanya terbuka, tetapi juga ditemani papan menu yang ditempel di dinding warna kuning limun bangunannya. Seorang pengunjung yang baru keluar membawa senampan burger, kentang goreng, dan segelas bir melongok ke sana kemari di bawah kanopi hitam, kemudian melewati kursi-meja metal yang kosong, lalu menyebrang dan mengambil duduk di kursi serupa di bawah pohon. Badannya menghadap danau seraya tangannya mengambil bir dari meja.

Kanopi, papan nama, dan papan menu itu semuanya bertuliskan Korzó.

"Kayaknya fast food," tebak Alder. "Nggak apa-apa kita makan di sini?"

Aku menggumam tanda sepakat. "Kasihan perut kamu udah bunyi dua kali."

Dia menyeringai masam. "Dasar perut aneh—selama kita teleponan atau video call, nggak pernah perut aku keruyukan kayak tadi. Kayak nunggu waktu yang tepat buat bikin aku malu."

Kami berdua masuk, meninggalkan daftar menu berbahasa Hungaria dan Inggris yang terpajang di depan untuk disambut kumpulan kursi kayu berbantal alas jingga dan meja kayu yang serasi. Di sebelah kiri, dinding kayu dan meja panjang cokelat menandakan wilayah tempat duduk ala bar, dihias cermin yang memantulkan ruang pembuatan es krim swalayan di kanan. Konter bermotif ubin mosaik hitam-putih memisahkan antrean pelanggan dan kasir, juga mesin kopi dan perlengkapan pembuat minuman lainTiga lampu berkap segitiga menaungi bagian itu, di depan daftar menu lain, lebih panjang dan lebih lengkap.

Mataku mengedar ke nama-nama menu, dan ulu hatiku seakan turun.

Selagi Alder bertanya penjelasan tiap makanan dalam bahasa Inggris, menunjuk dan meminta konfirmasi pada pelayan perempuan berambut pirang itu, aku meyakinkan diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Ini demi Alder. Dia lebih membutuhkannya. Aku tak boleh egois hanya karena aku sedang tak ingin menyantap lemak, yang terdapat di hampir seluruh menu utama Korzó, di depannya. Dan sudah lama itu berlalu. Aku pun seharusnya sudah tahu di restoran apa pun kami makan, dengan menu khas Hungaria atau dari negara lain, sudah pasti memuat daging. Percuma menghindarinya.

Suara Tante terngiang kembali. Memangnya bisa? Kamu, kan—tidak—mana ada yang mau—tidak—lagian anak itu—tidak—

"Okay, that's it." Alder mengakhiri pesanannya, lalu mempersilakanku. "Kalau kamu apa?"

Telunjukku mengawang di depan dada. "Aku ... one vegetarian burger, please."

Pelayan mencatat pesananku. Alder masih menunggu.

Tündérrózsa - Mawar PeriWhere stories live. Discover now