23 - Bunga Tidur

79 30 5
                                    

AKU pernah yakin Tante Jani tak benar-benar membenciku atau Ibuk

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

AKU pernah yakin Tante Jani tak benar-benar membenciku atau Ibuk. Bukti hari itu terlalu nyata dan terkadang membayangi kata-kata Tante sendiri, memudarkannya sehingga perihnya tak terasa begitu parah. Sekarang, hari itu terulang lagi.

Matahari bersinar remang di hampir-penghujung hari setelah Ibuk dikebumikan. Para pelayat yang membantu membereskan rumah, membagikan berkat, dan melayangkan belasungkawa satu per satu berjalan pulang. Tetua dan pemuka agama memberi Bapak wejangan, menyalami, mendoakan, memastikan keluarga yang ditinggalkan menuruti urusan pasca-pemakaman. Mbah Kung dan Nenek sudah lebih dulu tiada; mereka tak punya saudara kandung, sehingga hanya ada Bapak, Tante, dan aku. Wajah Bapak campuran lelah dan respek, sedih dan patuh, beriwibawa dan rapuh. Wajahku masih lengket dan mataku masih bengkak dari menangis.

Aku ingin izin ke pantai sebelum gelap, tetapi nasihat mereka pada Bapak belum juga berakhir. Kualihkan pada Tante. Kucari dia—di dapur, halaman belakang, kamarnya—dan baru saja aku hendak ke penginapan, aku menemukannya terduduk di ujung kasur dalam kamar orang tuaku, punggungnya membelakangi pintu. Sepanjang hari dia menjaga dagunya terangkat seperti ketika sedang bekerja, tetapi kali itu, kepalanya menunduk, bahunya bergerak mengikuti isak. Kuketuk pelan pintu dua kali agar dia tahu aku pergi.

Hanya sampai sana bagian yang benar.

Tubuhku masih empat belas tahun dan rambut hitamku baru sebatas bahu, tapi ingatanku segar dari pesan Nilam sebelum dia mendiamkanku—yang terjadi saat SMA. Aku meringkuk di dermaga, kelembapan udara menampar wajahku di balik lutut bersama dengan ujaran Nilam. Betapa lembeknya aku, toksiknya sikapku yang pasif pada Tante, capeknya dia bertahan dengan kelemahanku. Kubuka ponselku, mendapati pesan Nilam terhenti sehari setelah aku keluar klub renang. Kemudian, Alder duduk di sampingku. Alder yang masih berumur sebelas.

'Kamu sedih?'

Aku mengerjap terlebih dulu. Mendengar suaranya yang masih nyaring khas anak-anak begitu mengejutkan sekaligus membawa rindu. Alder bicara denganku lagi, meski dalam wujud hari ketiganya di Sriwedari sepuluh tahun silam, perban di pelipis dan segalanya. Kutahan air mataku dan mengangguk.

'Kalau gitu, nanti kita ketemu lagi, yuk.'

Baru kusadari pertanyaan sebelumnya tak hanya sesuai keadaanku di bunga tidur ini, tetapi juga memori sebelum kami berpisah. Kuangkat kepalaku, menatapnya balik. Aku tak ingin menjawab, hanya menunggu balasannya. Dan mencocokkannya dengan ingatanku.

'Tapi jangan di sini lagi, atau di dekat rumahku. Kita pergi ke tempat yang jauh. Berdua aja.'

Aku tahu aku seharusnya kaget di sini, membolakan mataku, mempertanyakan mengapa harus berdua. Lalu dia buru-buru menambahkan alasan anggota keluarganya banyak dan memiliki kesibukan berbeda. Berhubung aku tak mengatakan apa-apa, dia juga mengatakan yang lain.

'Ada tempat di Montenegro yang namanya kota Kotor. Kocak, ya? Tapi aku yakin kotanya bagus karena ada di Eropa.'

'Aku nggak mau ke kota Kotor. Aku nggak tahu di mana Montenegro,' ucapku.

Tündérrózsa - Mawar PeriWhere stories live. Discover now