27 - Quo Vadis?

78 28 0
                                    

SZABINA hanya memerlukan tujuh menit berkendara menuju Calvary Hill

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

SZABINA hanya memerlukan tujuh menit berkendara menuju Calvary Hill. Dia memarkir di lahan terbuka depan sebuah permukiman, kemudian mengikutiku keluar mobil. Angin meraung-raung di telinga meski kami masih di kaki bukit. Aku memandanginya heran, tapi sebelum sempat terucap tanya, dia tersenyum sembari melirik sekilas ke atas.

"Aku memang berencana pulang malam," katanya. "Dan barangkali juga kau butuh pemandu. Apa kau sudah tahu tentang tempat ini?"

Kálvária-domb—Bukit Kalvari—sempat masuk pilihanku dan Alder sebelum digantikan Agostyáni arborétum. Aku tahu letaknya bersebelahan dengan taman geologi dan museum edukatif. Aku tahu terdapat pemakaman Yahudi korban Perang Dunia II di belakang bukit ini. Aku tahu tak hanya patung gamping penyaliban Yesus Kristus dan sebuah kapel di puncaknya, tapi juga menara pandang yang tinggi, dinamai dari arsiteknya yaitu Jakab Fellner, bekas sebuah pabrik, dan setiap tamu perlu menghubungi nomor yang tertera di pagar pada jam tertentu sampai dipersilakan masuk kemudian membayar. "Sedikit."

Szabina mengangguk. "Tempat ini pada dasarnya masa kecilku. Ayo, lewat sini."

Kami menyeberangi jalan, melewati padang rumput, menemukan bunga-bunga kecil liar yang mulai mekar dan menempati beberapa petak di kanan-kiri. Jalur masuknya lantas bercabang; yang kanan memutari kontur jam matahari dari batu dan mengarah pada pagar kayu taman geologi, sedangkan Szabina mengambil belokan kiri, mendaki lewat undakan tangga yang dipahat langsung di dinding tebing. Licin dari bekas gesekan jejak-jejak pengunjung memaksaku berpegangan pada kasau besi dan melambatkan langkah, terutama dengan sepatu bot ini. Szabina menyesuaikannya, menunggu hingga aku hanya berjarak satu undakan sebelum lanjut berjalan. Jubah dan rambutku berkibar sesampainya kami di atas.

"Waktu kecil, aku dan teman-temanku naik melalui jalan dari belakang sana, melintasi menara air besar itu." Szabina menunjuk sebuah bangunan menyerupai gentong raksasa di kejauhan. "Dulu keadaannya tidak serapi ini. Jangankan papan peta—rumputnya saja jarang-jarang. Dinding kapel digraffiti, patung Kalvari menghitam diterpa ratusan musim. Kemudian semuanya direnovasi, dirapikan, ditanami poppy di sebelah sana, iris di sebelah—kau tak apa?"

Semestinya kuamati saja hijau sejuk yang mengalasi kapel bercat putih dan kompleks megah patung Kalvari, atau bahkan merah mencolok kereta wisata Tata yang tengah mengitari jam matahari di bawah sana. Alih-alih, frustrasiku menanjak sebab aku belum melakukan apa-apa untuk Alder padahal langit hendak temaram. Segala yang tersembunyi dari jalanan terbuka seluas-luasnya di sini: sinar merah muda mentari dari ufuk memberkas lemah tertutup ungu kelabu, satu-dua titik bintang berkelip, dan lengkung pelangi membias di atas daerah yang tampaknya baru saja hujan. Pemandangan ini amat berlebihan seolah mampu menelanmu.

"Pukul ... berapa sekarang?" tanyaku.

"Hampir sembilan belas—7 PM. Kau tak sadar sudah menghabiskan waktu di danau tadi sampai empat jam?" ujarnya, setengah menggoda setengah serius.

Tündérrózsa - Mawar PeriWhere stories live. Discover now