8 - Celah Kecil

145 46 10
                                    

SUATU kali, aku hampir tenggelam, di kolam renang yang dalamnya hanya setengah badanku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

SUATU kali, aku hampir tenggelam, di kolam renang yang dalamnya hanya setengah badanku. Usiaku tujuh tahun; empat tahun sejak aku belajar berenang untuk kali pertama. Segalanya menyenangkan hingga aku terpeleset dan gagal mengangkat tubuhku yang terlipat, diimpit seluncuran dan pinggir kolam. Yang kuingat selanjutnya hanya kepanikan, ruangan klinik, serta Ibuk yang menemani hingga aku diperkenankan pulang. Esoknya, aku berenang lagi.

Kupikir berteman denganku bagi Alder adalah renang bagiku, sebuah kebiasaan yang tak putus hanya karena satu hal, gerak refleks yang dilatih dari kecil. Sebab itu satu-satunya alasan yang masuk akal mengapa dia meminta maaf lagi sebelum kami berpisah.

Dia bisa saja marah padaku, jika dia mau.

Alih-alih, dia bertanya apa dia telah membuatku tak nyaman, dan memohon maafku atas kelancangannya. Dia juga menegaskan itu sepenuhnya hakku untuk bercerita, tak perlu merasa sungkan, walaupun dia kecewa baru tahu sekarang karena menutup kemungkinan memilih tempat makan yang membuatku aman. Dia masih menambahkannya dengan menganulir analisisnya tentang warna—pakailah warna hitam jika aku suka. Ditutupnya semua itu oleh ucapan terima kasih karena sudah membantu mewujudkan satu impiannya: bertemu denganku.

Lantas, sebelum membalik badan dan bertolak ke penginapannya yang bisa diraih dengan jalan kaki, setelah mengantarku ke pemberhentian bus, dia tersenyum.

"Besok kita coba lagi, ya. Hati-hati, Kalyn."

Alder ingin memulai kembali, mengganti atmosfer di antara kami yang seasam susu basi, berkat kebodohanku, dengan udara hari baru.

Usai menuruni bus dan berjalan ke penginapan, kata-kata Alder belum juga meninggalkan telinga. Saat membalas sapaan singkat Szabina, aku harus menelan ludah dahulu untuk menghilangkan ganjalan yang kubawa dari Danau Tua. Tiap langkah menuju kamar seakan menambah kebas kaki sendiri, hingga tak ada pilihan selain berbaring.

Apa yang telah kulakukan?

Ponselku bergetar lama. Nilam menelepon. Aku harus mengangkatnya, kalau tidak dia akan menelepon saat di Indonesia sudah tengah malam. Syukurlah ini bukan panggilan video.

"Aku udah di kamar," laporku setelah salam.

"Cepat banget?" tanyanya terkesiap. "Di sana baru jam-"

"Dua, mau setengah tiga." Aku menambahkan. "Kami kekenyangan karena Alder pesan dua menu utama dan satu potong kue. Aku bantu habisin sedikit. Jadi kami pulang."

"Gimana danaunya? Bagus? Jalan ke mana aja?"

"Cuma ke tempat-tempat yang dilewati sepanjang itu. Kastel, taman. Itu juga nggak lama."

"Dan ... ngapain aja kalian di sana?"

Aku terkekeh menanggapi nada menggoda Nilam. "Ngobrol. Lihat pemandangan. Foto-foto."

"Apa katanya soal rambut kamu? Suka, kan? Terus, kalian foto berdua?"

"Dia kaget, tapi senyum. Kami foto bareng di kastel." Mengingat kembali yang kami alami memunculkan hangat yang kurasa sepanjang pertemuan tadi, cukup menutup perasaan suram saat pulang. "Tempat wisatanya nggak banyak, tapi spot menariknya lumayan. Ada monumen bersejarah di salah satu taman dan instalasi seni abstrak, tapi cuma lewat dan nggak mampir. Di gembok cinta, Alder minta diajarin simpul nelayan."

Tündérrózsa - Mawar PeriWhere stories live. Discover now