24 - Rasa Rindu

76 29 4
                                    

MALAM jatuh bagai tirai akhir pertunjukkan

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.

MALAM jatuh bagai tirai akhir pertunjukkan. Selekasnya langit menghitam, aku keluar untuk makan malam. Persepsi waktuku sudah terganggu sejak siang—menit-menit saat aku mencoba mengetikkan pesan untuk Nilam, yang selalu kuhapus dan kuhapus lagi, juga menantikan tanda apa pun muncul di identitas daring Alder, berjalan lebih lama dari semestinya. Sudah cukup aku mengacau. Nilam sudah berbuat banyak untukku, jangan sampai dia bertambah khawatir.

Akan tetapi, kata-kata yang dirasa tepat tak kunjung tersusun. Raga dan jiwaku lelah, badai kelinglungan menyerang luar-dalam. Gigil mulai terasa bersama lilitan di perut.

Aku pergi mencari kedai piza terdekat.

Menuruti peta, tempat itu juga menjual masakan ala Italia lainnya, tetapi hanya piza yang kupikirkan. Aku bahkan baru pernah makan itu dua kali mengingat kota kami hanya punya satu kedai piza rumahan. Kupesan dua porsi ukuran sedang, yang ternyata lebih kecil daripada kelihatannya di foto. Selain harga dan kursi-meja plastik yang kutempati, aku tak peduli. Kulahap kedua pizaku. Habis. Bola daging dan minyak zaitun dan keju berkumpul di mulut. Untuk apa aku terbebas dari Tante jika tak kurayakan? Kapan lagi aku dapat menyantap lemak tanpa memikirkan hari esok? Hanya kunyah, telan. Kunyah. Telan. Kunyah, telan, telan, telan.

Sesudah berjalan pulang, aku ke kamar mandi, memuntahkan semuanya.

Saus berempah tadi kembali mendiami lidahku bercampur pahit asam lambung. Aku bersumpah ini bukan disengaja. Gabungan dari melewati makan siang, tertidur dengan kaus tipis dan tanpa selimut, juga kekalutan situasiku barangkali menjadi penyebabnya. Kutekan tombol flush sekali lagi yang gemuruhnya memenuhi kamar mandi. Bahkan saat aku ingin mengurangi berat badan, tak pernah terlintas olehku untuk sengaja melakukan ini. Namun, mau tak mau aku turut diingatkan masa-masa berat itu, ketika Nilam menyingkir, Bapak tiada, dan masa depanku entah ke mana arahnya. Ketika aku sendirian, seperti sekarang.

Aku menunduk lagi ke lubang toilet, lututku menumpu di kerasnya ubin, tangan satu berpegangan ke pinggir kloset dan satu lagi memegangi rambut. Pandanganku berkunang-kunang. Bunyi flush menutupi batuk-batukku.

Masih ada gaun kuning yang belum tahu bagaimana akan dicuci, teronggok di dekat bilik pancuran. Masih ada perut yang kembali kosong. Masih ada lantai toilet yang kotor. Namun, aku keluar kamar mandi dan mengambil minum, membersihkan sisa rasa menjijikkan di mulut serta kerongkongan. Kepala, dada, dan kakiku lemas bukan main, tetapi aku masih bisa membalur sekujur tubuh dengan minyak angin dan meminum jamu kemasan yang kubawa. Aroma kayu putih berjalin dengan samar pernis kayu dan apa pun yang masih tercium hidungku dari makan malam tadi. Kuselimuti badan dari bahu hingga ujung kaki.

Dikungkung hangat, akhirnya otakku mampu menyusun pesan untuk Nilam. Aku masuk angin. Sayangnya, kantuk lebih dulu mendera. Kuharap tidur kali ini bisa lebih tenang.

 Kuharap tidur kali ini bisa lebih tenang

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.
Tündérrózsa - Mawar PeriTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon