14 - Michelin Star

99 35 12
                                    

"KALYN

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"KALYN."

Suaranya pelan, tetapi jelas. Kepalanya berpaling sedikit lebih dekat. Tatapannya—yang tak berubah, dan baru kupastikan saat aku menengadah kembali—menyorot lembut. Alder seperti menantiku menoleh lagi padanya sebelum melanjutkan kata-katanya.

Tangan kanan kami masih bersinggungan. Ibu jariku dan miliknya berjarak setipis bulu, empat jemari lain di bawah buku sketsa mengenai buku jari, tepi telapak, dan kuku, dan tetap begitu hingga detik ini. Asing. Familier. Seutuhnya Alder.

"Aku nggak tahu ini waktu yang tepat atau bukan," ucapnya. "Karena aku nggak peduli. Aku harus tanya ini sebelum aku nggak bisa, dan selama kita di sini, ketemu langsung."

Ibu jari Alder menyentuh ibu jariku, mengirim kejutan lurus ke jantung.

"Setelah dua hari ini, jujur, aku nggak bisa anggap kamu—anggap kita—sebagai orang yang sama lagi. Bahkan sejak pertama lihat kamu di Danau Tua. Aku tahu kamu perenang, kolektor batu pantai, sering mampir marina tiap pulang sekolah buat pesan ikan dan sayur, pengumpul kartu perpus dan rental buku terbanyak yang aku tahu, nggak pernah dapat nilai di bawah sembilan puluh buat pelajaran Biologi dan Bahasa Indonesia, tapi aku masih pengin kenal kamu lebih lama lagi, lebih dalam lagi. Aku pengin lihat kamu pilih warna rambut lain. Atau dengar rencana kuliah kamu. Atau rencana-rencana kamu yang lain, yang remeh, yang penting, yang mengubah hidup, yang cuma buat senang-senang. Aku mau aku ada di sana. Dan aku harap kamu mau izinin aku—dan kita—berubah."

Tangan kiri Alder ikut memegang buku, tepat di atas tangan kananku.

"Bisa kita berubah?"

Dia memakai 'kita'. Bukan aku dan kamu. Dan dia memilih 'berubah'. Alder tahu betul tak akan ada yang menetap bila aku mengiakan ini, dan tidak mungkin pula ada jalan berputar yang mengembalikan segalanya ke nol. Akan tetapi, bukankah ini yang kudambakan?

Apa aku siap? Apa Alder tak akan menyesalinya jika kami telanjur menjejakinya?

Tiba-tiba, dia tertawa gugup. "Aku ngerti kalau kamu bingung karena ini terlalu mendadak. Aku nggak apa-apa kalau kamu menolak. Kita bisa kayak biasa lagi. Aku jamin kita nggak bakal canggung, dan kita bisa tetap nyaman komunikasi—"

"Nggak."

Aku bergumam. Namun, pegangannya seketika kaku. Tepatkah aku mengambil keputusan ini? Cukup besarkah perasaan ini untuk bertahan sepanjang waktu? Siapkah Alder? Siapkah kami?

Layakkah aku?

Pertanyaan itulah yang paling kupikirkan. Dusta bila aku tak pernah mengimpikan hari ini. Akan tetapi, untuk benar-benar mengalami dan menghadapinya ... semua terasa lebih daripada degup jantung yang berkejaran dan hangat yang mekar di pipi. Khayalan tak perlu berurusan dengan langkah selanjutnya, apa yang akan terjadi saat Alder melihat langsung kekuranganku, apa yang akan dia lakukan saat aku berbuat salah di depannya. Khayalan tak akan memasukkan skenario seumpama rute yang kami lalui buntu atau bercabang. Sekarang waktunya memilih antara ruang aman dalam benakku, atau momen nyata ini.

Tündérrózsa - Mawar PeriWhere stories live. Discover now