28 - Vanilla Dream

103 32 5
                                    

DETIK-detik meregang panjang kala pandangan kami beradu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

DETIK-detik meregang panjang kala pandangan kami beradu.

Bulir tetes hujan merintik dari tepian tudung jaket Alder yang dinaikkan, membingkai wajah terkejutnya. Rambut depannya yang basah menyapu kening. Tangan satunya memegang ponsel yang separuh dikeluarkan dari saku, sedangkan satunya memeluk kantong kertas.

Reaksi pertamaku hanya ingin menghambur padanya, meredakan nyeri dari rindu dan rasa bersalah. Ini lebih dari sekadar déjà vu pertemuan pertama di Danau Tua—ini kesempatan di persimpangan, menguji apa aku bijak memilih jalan atau justru mengacaukannya. Tiga hari terakhir bersamanya tak mungkin sanggup ditukar dengan sepuluh tahun jarak jauh berikutnya. Aku kembali ke kenyataan, meraih sikunya, lantas menariknya pelan agar dia bergegas.

"Ayo ke dalam," pintaku.

Alder hanya bergerak satu langkah. "A—aku baru mau telepon kamu."

"Nanti tambah basah kuyup." Kupegangi lengannya lagi. "Kita berteduh dulu."

Aku memimpin jalan menuju kamarku, membuka kuncinya, mempersilakannya masuk. Kehadirannya mempertegas kehangatan ruangan ini atau memang begitulah Alder untukku. Selagi kusiapkan kursi dan air teh, dia masih saja berdiri sambil memindai sekeliling. Kuambil handuk bersih dari koper dan menaruhnya di meja, memberi sinyal agar dia memakainya, lalu mengurus diriku sendiri, mengikat rambut asal tinggi serta menanggalkan jubah. Akhirnya, dia duduk, menggumam terima kasih, mengelap muka dan rambut meski jaketnya masih dikenakan, juga meletakkan kantong kertasnya. Kutarik kursi di sebelahnya untuk tempatku dan mendorong cangkir teh lebih dekat ke arahnya.

"Oh," di tengah irama hujan yang mengetuk jendela atap, bunyi dari tangannya yang merogoh isi kantong kertas menyela. "Tadi aku mampir ke toko kue, terus tanya ke penjualnya mana yang nggak terlalu manis, dan direkomendasiin ini. Vaníliás álom, eh, vaniliash? Aku cari artinya vanilla dream. Mungkin maksudnya kue vanila lembut."

Potongan segitiga kue lapis krim putih itu masih rapi dalam kemasannya. Alder menaruhnya di meja di tengah-tengah kami. Dalam pencahayaan kamar, cekung di bawah matanya tampak lebih gelap daripada bagian muka yang lain, dan lebih letih, seakan digayut sisa kantuk hasil terbelalak bermalam-malam. Bola matanya yang berkilau akibat pantulan lampu entah bagaimana menandakan kering. Sisa hujan masih menggantung di beberapa helai rambutnya. Aku berhenti mengamati, berusaha tak memikirkan yang dia lakukan pada dirinya sendiri kemarin. Diambilnya cangkir, dihirupnya pelan. Uap teh mengelilingi pipi dan hidungnya.

"Udah lihat post Rémy?" mulainya lagi, diiringi tawa ringan. "Mas-mas Prancis itu malah pakai footage yang pertama, yang ada aku muncul sebentar. Ya, tetap nggak ngaruh apa-apa sama hasil fotonya, sih. Kamu bagus banget di situ. Siapa tahu nanti mau coba modelling lagi."

"Alder ..." kupejamkan mata dahulu, "aku minta maaf."

Air mukanya berubah, barangkali menyadari tak ada pengalihan lain yang bisa dilakukan. Dia menegakkan badan sembari menangkup cangkir dengan kedua tangan. Detak jantungku bertalu bagai melantunkan doa, bukan hanya untuk menghalau lidah terselip tetapi juga kegugupan akan hal itu. Lebih baik memulai dan mengoreksi ketimbang bungkam selamanya.

Tündérrózsa - Mawar PeriWhere stories live. Discover now