25 - Xanadu

73 31 3
                                    

"KIA Ceed ini milik Nagymama," tutur Szabina saat kami sudah masuk

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"KIA Ceed ini milik Nagymama," tutur Szabina saat kami sudah masuk. "Punyaku sedang dipinjam kakak. Kalau kelihatannya biasa cenderung membosankan, itulah sebabnya."

Bagian dalam mobil kecil ini tak banyak memiliki sentuhan pribadi, tetapi bersih dan nyaman. Berkebalikan dengan cat luarnya yang putih, hitam klasik mendominasi warnanya. Szabina mengemudi di sebelah kiriku, memakai terusan biru dongker polos berikat pinggang tipis dan sepatu hak datar berpita manis. Kami melaju ditemani lagu R&B terkini berbahasa Inggris.

Kutanggapi dia dengan anggukan. "Baiklah."

Dia melirikku sejenak. "Hm, kau tahu, aku bukan pegawai penginapan teladan. Meskipun kau tidak keberatan jika menganggapku teman, kau mungkin merasakan perilakuku yang sedikit melanggar batas pribadi. Aku minta maaf soal itu."

Lagu di pemutar musik berakhir dan berganti. "Penginapan keluargaku cukup terpencil, jadi beberapa kali aku mengantar turis asing jika arahan verbal masih membingungkan. Aku justru berterima kasih kau sudah bermurah hati. Kau bisa saja pergi tanpaku."

"Kenyataannya," dia membanting setir untuk berbelok, "aku pergi untuk keperluan pribadi. Bukan kepentingan penginapan. Namun, nenekku tahu sudah ada yang menggantikanku di kotak itu. Dia hanya belum tahu berapa lama aku keluar."

"Apa itu akan baik-baik saja?"

"Entahlah. Kurasa tidak." Dia terkekeh, kerlingannya jail. "Jadi, apa rencanamu hari ini?"

Sederhana. Hanya berbaikan dengan Alder. Walau gambaran tergelap dirinya senantiasa menghantuiku, dia yang bercahaya tetap melekat erat di benak. Tak pernah sekali pun dia membuatku takut dan menghindarinya bahkan pada hari terburuk. Wajah cerianya yang biasa memang seketika berubah, seperti saat pesan ayahnya muncul ketika kami video call, tetapi dia hanya meminta jeda. Bukan mengatakan lewat tatapannya yang keras, senyumnya yang kelam, dan diamnya yang menghampakan, bahwa dia tak lagi membutuhkanku.

Aku perlu bertatap muka dengannya sebelum esok siang, sebelum jadwal kepulangan. Semua itu akan lebih mudah kalau saja aku tak terkatung-katung dan bingung dengan nasib sendiri. Aku harus mengurus diriku dulu, yang sejujurnya belum tahu akan kumulai dari mana.

"Berjalan-jalan," balasku netral. "Mungkin mencicipi beberapa jajanan."

Szabina mengangguk. "Bagaimana menurutmu makanan Hungaria? Sudah coba apa saja?"

"Aku cukup cocok dengan selera pedasnya."

"Oh, ya?" tanggapnya langsung, dan kubiarkan dia terus bicara tanpa harus kujabarkan lebih lanjut. "Tentu saja, kudengar rendang juga sangat pedas. Omong-omong, kau sungguh berani memulai perjalanan ke luar negeri sendirian di usia sebaya kita. Aku sendiri ingin menjelajah negara di Asia atau Afrika sebelum umur dua puluh lima, tapi kecuali aku kerja rodi dan mengabaikan kuliahku, sebaiknya kurombak ulang mimpi itu."

Kami memasuki jalan utama yang berjalur ganda, bersisi pertokoan kecil dalam bangunan tua dan pepohonan berdaun muda, serta berhias rumah-rumah bercerobong asap yang satu di antaranya sedang menyala. Sebuah bus berhenti untuk menerima dan menurunkan penumpang. Aku mengangguk dan menggumam singkat, dan tak kusangka, Szabina meneruskan ceritanya.

Tündérrózsa - Mawar PeriWhere stories live. Discover now