3 - Sihir Alami

264 66 7
                                    

SEJAK kecil, Ibuk mengajariku mengakrabi udara, suara, dan perilaku laut

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

SEJAK kecil, Ibuk mengajariku mengakrabi udara, suara, dan perilaku laut. Pantai kami bukanlah yang berpasir putih, dekat kota, apalagi memiliki wisata air yang menarik. Tak jadi soal. Aku menyukai karangnya yang membentuk jalur rintangan alami dan bebatuan yang bisa kukumpulkan. Aku menyukai air kelapa yang diambil dari buah di pohon-pohonnya yang menaungi warung jajanan. Aku menyukai sentuhan Taman Spanyol, meski itu satu-satunya perbaikan dan daya tarik komersil, karena aku bisa melihat hijau teduh di antara warna-warni mencolok dari kapal yang bersadai. Tak lupa pula malamnya yang tiba-tiba turun, anginnya yang berembus kasar, juga derum lautnya yang menyimpan rahasia. Setiap jengkal badan pantai yang bisa kutelusuri, kupastikan aku telah menanamkan jejak kakiku di sana.

Di sini, aku sama sekali buta tentang danau. Namun, aku akan mencoba menyukainya juga.

"Hitam lagi." Szabina menyapaku. Anting besarnya yang terbuat dari polymer clay bergoyang, berwarna netral lembut dan berbentuk bulan sabit berisi bunga-bunga mawar. "Kemejanya lucu. Seandainya kerahnya lebih lebar lagi."

Versi 'selamat pagi' darinya ini, saat kuterima dalam keadaan sadar penuh, ternyata mencerahkan. Aku tak perlu sungkan membalas dengan punggung membungkuk dan senyum terpaksa, cukup tatapan bingung. Aku juga tak menyangka akan memakai kalimat bahasa Inggris selain pertanyaan penting yang kubutuhkan selama perjalanan. Sejujurnya, ini mengingatkanku ketika bertemu pengunjung-pengunjung asing ramah di Sriwedari. Kami tak mengenal satu sama lain, tapi kami dapat membicarakan hal-hal seru meski itu hanya buah kesukaan, kartun favorit, atau hobi masing-masing.

"Jó reggelt kívánok." Kuucapkan salam sungguhan. "Dan terima kasih. Ini kemeja andalanku."

Szabina mengibaskan tangannya. "Cukup jó reggelt saja. Dengar, kau belum bertemu wanita paruh baya berambut sasak dan mengenakan lipstik merah anggur, bukan?"

Kukernyitkan dahi. "Aku hanya pergi ke luar untuk membeli makan, lalu langsung ke kamar."

"Dan kau sudah tahu aku dipaksa bekerja di sini. Bagaimana jika kita bicara seperti ini saja selama kau menginap? Kalau keberatan, aku akan berusaha lebih resmi lagi."

"Tidak, aku setuju. Bekerja di garda depan memang menyebalkan."

Matanya melebar. "Ya, kan?"

Aku terkekeh. "Aku rela berbagi penderitaan bersamamu."

"Kau malaikat yang menyamar dalam baju pencabut nyawa." Kedua tangan Szabina hampir meraup wajahku, tetapi segera diurungkannya. "Maaf. Tolong jangan dipikirkan. Semoga pertemuanmu lancar. Kau mau bertemu seseorang, bukan?"

"Ya, kami akan bertemu di Öreg-tó—Danau Tua. Dekat patung Saint John."

"Szent János szobra," ulang Szabina dalam bahasanya. "Kalau kau tak mengincar festival, kau datang pada waktu yang tepat. Bulan depan tempat itu akan penuh panggung dan bazar sampai ke kastel Tata. Setelah Víz Zene Virág, ada Tatai Patara, lalu triatlon, maraton, dan entah apa lagi selama musim panas. Cobalah berjalan ke sebelah kiri dari patung itu kalau kau ingin lihat tempat wisata, tapi jika ingin teduhnya pohon-pohon, pergilah ke sebelah kanan. Danau Tua tak akan mengecewakan, bahkan untukku yang lama di sini."

Tündérrózsa - Mawar PeriWhere stories live. Discover now