20 - Embusan Napas

87 35 3
                                    

TREK alam Fényes selanjutnya tak sekadar jalur kayu panjang dan papan ensiklopedia flora-fauna

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

TREK alam Fényes selanjutnya tak sekadar jalur kayu panjang dan papan ensiklopedia flora-fauna. Terkadang kami keluar melewati tempat yang tak berpagar, melihat bunga endemik buttercup kuning lebih dekat. Terkadang kami berhenti agak lama setelah mengamati ular, membiarkannya melata di air dan menjauh. Selebihnya, kami mengabaikan sepenuhnya papan pengetahuan yang ada. Hanya menikmati, menghormati, menghargai alam.

Sementara kami terus menjauh dari mulut jalur, keberadaan Alder untukku semakin dekat, semakin jarang memberikan ruang. Sentuhan di punggungku ketika dia memintaku berbelok. Usapan di lenganku saat dia tertawa. Remasan kecil di jemariku kala tangannya menggandeng agar aku ikut duduk sejenak di bangku kecil yang tersedia. Beberapa kali rambutnya menyapu pipiku sebelum kepalanya dijatuhkan ke pundakku barang sekejap, dan harum bersih sampo berpadu parfumnya menyelir bersama udara. Dari jarak ini pula, fokusku kerap beralih dari keramaian paya pada bulu matanya, sehalus kepak sayap capung; pada bekas lukanya, penanda pertemuan kami; dan pada bibirnya, yang semakin sulit kuabaikan. Dan ketika mata kami bertemu saat duduk, bayanganku di iris cokelat gelapnya tampak sangat jelas, hingga gaun kuningku seakan berpendar. Sedekat itu. Selekat itu.

Kuluruskan kakiku sebelum mengambil air minum.

"Kamu ingat habis ini ke mana lagi?" tanya Alder.

Varga sedang memotret keluarga Takács di samping kami, bergantian mulai dari berempat, lalu sang ayah-ibu, dan anak-anak. Kuteguk air minumku dua kali, merasakan aliran sejuknya di kerongkongan, lalu menukarnya di tas dengan ponsel. "Aku foto petanya tadi. Mau lihat?"

Alder tak menyisakan celah di antara kami sehingga ketika dia melongok ke ponsel yang kupegang, dagunya menumpu di bahuku. Getar ganjil merambat dan berkumpul di atas perut hingga hampir mengambil keawasanku akan sekitar. Dia berkomentar, "Masih panjang, ya."

"Kamu capek?" aku mencoba memastikan.

Diangkatnya kepala dari pundakku dan menggeleng. "Nggak, sih. Masih ada wahana jug—"

"Oh, want to photo too? Let me."

Varga menunjuk antusias ke arah ponselku. Segera, aku dan Alder saling bertanya lewat tatapan. Aku tak menunjukkan keberatan. Dia pun mengangguk kecil sebelum menghadap Varga dan mengiakan. "Sure, please. Thank you."

Kuserahkan ponselku pada Varga dalam mode kamera, lalu duduk kembali. Kami difoto. Satu. Dua. Tiga. Lengan Alder melingkari bahuku, posturnya relaks, senyumnya lebar bahkan dilihat dari sudut mata. Aku menangkup tangan di pangkuan, menghindari silau dengan memiringkan kepala. Varga mengangguk-angguk senang dengan hasilnya.

"Now you stand up here. Beautiful, it's beautiful."

Alder beranjak lebih dulu dan berdiri di titik yang Varga sarankan, lalu aku mengikutinya. Di belakang kami, terhampar sekumpulan bunga teratai, putih dan merah muda, saling merapatkan daun hijau berlapis lilinnya dan kelopak-kelopak lembutnya yang membuka—pemandangan yang telah kutemui sejak beberapa langkah sebelum ini. Di antara dan membatasi paya berteratai ini adalah pohon-pohon hidup serta sisa-sisanya. Yang tumbuh tinggi dan berdaun menunjukkan wajah paya yang baru kembali, dan yang tunggul gundul merupakan pengingat bahwa tempat ini pernah sangat mati hingga pohon-pohon ini mengorbankan diri. Alder bercerita Varga terus menyebut égerfa, alder tree dalam bahasa Inggris, sebelum berangkat; nama pohon hidup sekaligus yang masih bersisa batang patah itu.

Tündérrózsa - Mawar PeriWhere stories live. Discover now