26 - Yacht & Kayak

90 30 2
                                    

SELESAI menghabiskan goulash, aku membuang mangkuk sekali pakainya ke tempat sampah dan menelusuri jalan hingga tiba di pesisir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SELESAI menghabiskan goulash, aku membuang mangkuk sekali pakainya ke tempat sampah dan menelusuri jalan hingga tiba di pesisir.

Atmosfernya seketika berbeda dengan keceriaan di depan kedai tenda. Udara sejuk bebas berkesiur, menerbangkan helai-helai rambutku yang digerai. Rerumputan sebelum tanah berpasir tumbuh subur lebih cepat daripada pohon dedalu besar di belakangnya. Matahari tengah berwajah pucat di balik awan keabuan sehingga permukaan danau kehilangan titik-titik cahayanya, dan sebagai gantinya, refleksi cemara pensil dan atap gedung-gedung kuno yang menyembul di seberang mengambang jernih dalam riak-riak pelan. Dekat dermaga, seorang pria mengendalikan drone kamera, dan tak jauh dariku sepasang ibu-anak dengan anjing kecilnya lewat sambil mengobrol. Aku melangkah maju ke pesisir, merasakan butiran pasir menggesek sol botku, menyambut perasaan akrab ketika dataran bertemu perairan serupa laut.

Aku duduk. Sebagian jubahku segera bernoda pasir, tetapi itulah yang kumau. Kukeluarkan ponsel dari tas lantas menelepon Bu Indri. Percakapan singkat kami diwarnai nada haru; masih sulit dipercaya aku tak akan bertemu beliau lagi dalam waktu dekat. Bersama Pak Alit, mereka mempertimbangkan pindah kerja secepatnya, tetapi aku juga menyampaikan bahwa aku mendukung keputusan mereka, pergi atau tinggal. Kami berjanji untuk saling memberi kabar.

Tanpa layanan wifi, kredit dataku merosot dan aku tak berencana mengisi ulang. Jatah rekreasi untuk perjalanan ini sudah cukup menipis. Kukirim Nilam pesan teks yang semestinya sampai saat dia sudah di rumah, untuk memberi tahunya aku masih bertahan, aku masih dapat menanggungnya. Satu menit kemudian, dia meneleponku.

"Gimana kabarnya?" mulainya.

Kurapikan anak rambut yang tertiup angin. "Udah nggak muntah."

Nilam tertawa pelan. "Kalyn, Kalyn. Alder juga pasti geleng-geleng dengar ini."

"Mungkin," jawabku, mengabaikan secuil nyeri di hati kala mendengar nama Alder. "Maaf kita belum bisa ketemu lagi sampai aku pindah."

"Ada telepon. Ada video call. Ada voice note. Banyak," ujarnya santai. "Jadi, apa aja rencana kamu pulang dari sana? Apa yang bisa aku siapin?"

"Nggak usah, sungguh. Semuanya udah kubawa. Aku ..." pandanganku mengawang. "Fokus pertamaku cari tempat tinggal dulu. Simpananku masih cukup buat tutup biaya sewa setahun di kota besar. Setelah itu, mungkin aku beli laptop buat modal cari kerja, atau info kuliah, atau opsi lainnya yang kutemui nanti. Baru itu yang terpikirkan."

"Apa mungkin kita bisa, ehm, lapor polisi?"

"Kurang tahu. Alder juga nggak pernah cerita kasus mirip ini."

"Perasaan kamu sendiri gimana sekarang?"

"Campur-aduk. Aku memang nggak sekalut kemarin, tapi ... bukan berarti ... ya, kamu tahu."

Nilam menjeda sejenak. "Selama aku luang, aku selalu bisa dengerin kamu. Tapi kamu pasti juga tahu kapan butuh pendapat profesional. Sekarang kamu bisa melakukan itu sebebasnya."

Tündérrózsa - Mawar PeriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang