4 - Putri Salju

241 59 6
                                    

KALI pertama aku melihatnya, Alder berpipi kemerahan karena kulitnya tak tahan panas

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

KALI pertama aku melihatnya, Alder berpipi kemerahan karena kulitnya tak tahan panas. Hidungnya senantiasa mengerut dan berkeringat. Gigi taring kiri atasnya sedang tumbuh baru. Dia hanya didapati antara sedang diam atau berlari, mengantarnya pada luka yang memaksanya duduk, dan selama tiga hari itu kami selalu mencari kesempatan bertemu.

Di detik ini, dia berdiri begitu mata kami berpapasan. Gerakan itu seolah mengundang angin untuk meniup helaian rambut yang menyentuh alis melengkungnya. Seiring tangannya mengeratkan jaket hijau zamrudnya ke dada, mulutnya membuka perlahan.

Mengapa dia menatapku tanpa kedip? Apa karena rambutku? Bajuku yang kusut? Ranting kecil yang jatuh dengan konyol di bahuku dan kusingkirkan dengan menyentilnya? Ataukah—

"Kalyn?"

Suara itu lebih lembut daripada yang kudengar selama ini lewat telepon. Debaran yang mengirim aliran darah ke sekujur tubuh seketika menyadarkanku. Ini nyata.

Kukumpulkan segenap kekuatan untuk membalasnya. "Alder."

Dari dekat, senyumnya ternyata tidak hanya lebih naik di ujung bibir kanan, tetapi juga membentuk kerut halus di tepi matanya. Dia tersenyum bagai ekor merak yang terbuka, mulai dari tertutup, kemudian perlahan mengembang, memperlihatkan gigi serta betapa istimewanya ekspresi itu. "Aku nggak tahu rambut kamu pink."

Kupegang rambutku sejenak, menahan jengah. "Ini juga pertama kalinya aku ngecat rambut."

"Cocok, kok. Bagus banget hasilnya. Udah sarapan?"

"Udah, kamu?"

"Sama. Sekarang gimana jet lag-nya?"

Jemariku membentuk tanda OK. "Sudah dikondisikan."

Alder berdecak di balik senyumnya. "Kebiasaan. Dari video call aja kelihatan kalau kamu bohong, gimana sekarang di depan aku langsung."

Kehadiran Alder menyerbu seluruh indraku. Parasnya, suaranya, tangannya yang bersedekap main-main, bagaimana cahaya pagi yang merambat naik menyinarinya. Terlalu banyak. Tulang hidung ramping yang sama, kulit cerah yang sama. Celana panjang abu gelap itu sudah sering dipakainya, dan gurat-gurat benangnya, hasil cuci-jemur yang sering itu, kentara ketika dilihat dari dekat. Dia juga memakai tali sepatu yang kukirimkan tiga tahun silam. Aku membuatnya dari kain perca hitam, menciptakan kontras pada sepatu sneaker putihnya.

Ternyata sebesar ini arti Alder untukku, lebih daripada yang kurasakan via ketikannya.

Aku berusaha meredam segala emosi itu agar Alder tak malu padaku. Kupalingkan wajah. Hamparan Danau Tua yang lebih luas dari jarak pandang mengisi tatapanku. "Serius, kok. Aku betulan udah baik-baik aja. Gimana kuliah kamu? Nggak apa-apa ditinggal ke Hungaria?"

"Tinggal nunggu sidang. Kira-kira sebulan lagi. Sengaja aku luangin seminggu lebih buat liburan." Dia bergeser keluar dari naungan pohon sehingga kami sama-sama berdiri di dekat birai pembatas. "Kalau tante kamu gimana?"

Tündérrózsa - Mawar PeriWhere stories live. Discover now