21 - Udara

76 31 5
                                    

BELUM seminggu suami Tante pindah dan tinggal di rumah kami setelah menikah, dia mengintipku di kamar mandi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

BELUM seminggu suami Tante pindah dan tinggal di rumah kami setelah menikah, dia mengintipku di kamar mandi. Aku selalu keluar dengan handuk di kepala dan sepenuhnya berpakaian sejak remaja. Kututup lubang angin lekas-lekas dan meminta tolong Pak Alit memperbaiki dindingnya. Kulaporkan pada Tante. Dia bilang tak ada bukti. Dia bilang mungkin yang kulihat bukan mata manusia dan yang kudengar bukan bunyi geretan kursi.

Saat itu berhenti, suami Tante mengarang alasan agar dapat tiba-tiba masuk kamarku. Mencari perkakas. Merapikan loteng. Diminta Tante mengambilkan barang yang tak ada dan berakhir mengarang lagi. Kuatasi segera dengan membeli gembok.

Entah lelah atau justru semakin menjadi, suami Tante terang-terangan menggangguku setelah itu. Ketika aku bekerja sedangkan dia ongkang kaki di ruang makan, sambil melewatinya, pahaku ditepuk. Kali lain, perutku dicubit lalu dia tertawa seolah itu lucu. Sewaktu tangannya menyasar dadaku, Bu Indri mengalihkannya cepat. Dan terus berulang. Jemari gemuk berbulu menggerayangi lengan. Bau rokok dari tawa bejatnya di telinga. Dalihnya, 'kita keluarga', tetapi rangkulan tangannya lanjut ke belakang. Pinggang. Pinggul. Selalu kulaporkan Tante setiap itu terjadi. Selalu. Sampai aku jemu. Sampai mual jijik malu menguasaiku.

Kini aku kembali dari memori terkorosi itu di atas jembatan gantung Fényes Tanösvény, pinggang ke bawah jatuh dan basah, daun-daun teratai yang mengambang berayun kanan-kiri mengikuti usahaku untuk berdiri. Rasa hina dari ingatan tadi ditambah betapa malunya aku sekarang menyulitkanku mengumpulkan kuasa diri. Di atas perahu, Nyonya Takács berhenti menarik tali, dan di dekat dek, Varga serta Anikó dan ayahnya berlari kecil ke arah jembatan. Alder mengulurkan tangannya, menungguku berpegangan.

"You okay guys?" teriak Varga, jalannya tergopoh. "What happening?"

"Di sini terlalu licin!" balas Alder.

"Balik lagi saja!" sahut Tuan Takács. "Ambil jalan memutar."

Alder mengiakan lalu kembali padaku saat badanku setengah menunduk. Kupegangi lengannya, menciptakan jejak basah di ujung kemejanya yang digulung. Lekas kulepaskan begitu kurasa bisa berdiri dan berjalan lagi. Air memberatkan bagian rokku dan ikut membekas hingga bawah punggung serta ujung kepangan rambut, tetapi gemetarku berkurang dan akhirnya aku dapat berdiri sedikit lebih tegak dari perkiraanku. Waktunya menghadapi dunia nyata.

"Saya baik-baik saja," umumku. "Maaf sudah membuat khawatir."

Nyonya Takács mengatakan sesuatu yang kurang kudengar, tetapi Tuan Takács mengulanginya. "Setelah ini, mampirlah ke kantin dekat pemandian dulu. Siapa tahu mereka juga menjual handuk dan perlengkapannya."

"Tas kamu nggak apa-apa?" Alder meraih tasku yang meneteskan air. Dibuka dan diperiksanya barang-barang di dalamnya. "HP kamu basah sedikit. Aku lap sebisaku, nanti kita cek lagi."

Kami berdua berbalik, melanjutkan perjalanan tanpa menaiki wahana apa pun. Sisa rute trek berakhir dijelajahi lebih cepat dan lebih hening daripada sebelumnya. Sekeluarnya dari pintu gerbang, aku dan Alder pergi ke pondok kantin untuk membeli handuk dan duduk sejenak di sana, mengangin-anginkan rok yang masih terasa lembap. Dia mengelap rambutku, membuka kepangannya, lalu menyugarnya dalam diam. Ponselku masih disimpan di dalam tasnya. Disampirkannya handuk di punggungku untuk membatasi rambut setelah selesai.

Tündérrózsa - Mawar PeriWhere stories live. Discover now