"Aku tidak melihat apa pun," ucapku jujur.

"Oh, Sayang! Kau harus lebih berusaha lagi! Kemarilah!" Dia menarikku mendekat.

"Di sini," tunjuknya pada salah satu sudut. "Dia menyembunyikannya di sini."

Aku mengamati bagian yang dia tunjuk, dan selama beberapa menit aku hanya memperhatikan satu titik tersebut sampai mataku berkunang-kunang.

"Ini adalah sihir," lanjutnya.

"Mengerikan," balasku. Mengira bahwa kunang-kunang itu mungkin disebabkan oleh sihir. Tetapi dia hanya tertawa dan mengusap-usap rambutku pelan. Kemudian mengabadikan lukisan tersebut di dalam kameranya.

Pada saat itu, aku tidak bisa menemukan apa pun selain cat monokrom yang berserakan. Tetapi setelah aku cukup dewasa pergi ke mana pun sendirian, aku kembali datang untuk melihat lukisan yang telah menggantung selama bertahun-tahun itu. Aku mengamatinya, mencari sudut pandang terbaik ibuku, lalu dengan cara yang tak terduga, aku bisa melihat apa yang dia lihat beberapa tahun sebelumnya. Satu titik tersebut menyadarkanku bahwa itu bukan lukisan seorang perempuan, melainkan sebuah kehidupan yang dirampas secara paksa. Seorang anak perempuan yang terperangkap dalam jubah penderitaan. Aku buru-buru pulang, ingin menanyakan pendapatku padanya, tetapi dia malah menanggapiku dengan senyuman kecut dan menyuruhku agar tidak lagi berbicara omong kosong dan semacamnya.

Sesuai keinginannya, aku tidak pernah lagi melakukannya. Aku bahkan tidak pernah lagi pergi ke museum. Aku merasa bodoh karena telah berpikir seperti itu. Tetapi sekarang, ketika melihat burung di dalam sangkar ini, yang tampak begitu terjebak dan sedih, aku tahu bahwa aku benar. Entah bagaimana menjelaskannya, dia merasa bahwa lukisan tersebut mencerminkan dirinya.

Aku menyimpan kembali burung dalam sangkar itu, memutuskan untuk segera keluar dari sana. Namun, ketika berbalik, aku melihat Nero sudah berdiri di depanku, menyandarkan punggungnya pada dinding di sampingnya sambil memandang lurus ke arahku.

"Sejak kapan kau di sana?" tanyaku agak malu.

Aku tidak bermaksud menerobos seperti yang pernah dia lakukan, tetapi rasanya seperti aku telah melakukan hal yang sama. Terutama setelah aku menciumnya. Meskipun aku berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa itu hanya ciuman pipi, tetap saja rasanya seperti aku telah melakukan sesuatu yang intim dengannya. Tadinya, aku berniat memberitahunya bahwa itu bukan apa-apa, hanya tindakan impulsif seorang gadis yang sedang mabuk. Tapi setelah penuh pertimbangan, aku merasa jika aku membahasnya, dia akan tahu kalau aku tidak berhenti memikirkannya. Apalagi, Nero tidak pernah menyinggung-nyinggung kejadian itu padaku. Mungkin dia cukup mabuk untuk mengingatnya? Apa dia juga melupakan kata-kata yang diucapkannya padaku?

"Sekitar 5 menit lalu," jawabnya, mengembalikan perhatianku pada keadaan saat ini. "Mungkin bisa lebih sedikit, kupikir kau menyadarinya."

Tidak, aku sama sekali tidak menyadarinya. Lalu kulihat dia berjalan ke arahku, membuatku tiba-tiba menjadi salah tingkah. Terutama saat dia mencondongkan tubuhnya mendekat sehingga mau tak mau aku menahan napas, merasakan wajahnya berada tepat beberapa senti di depanku. Tangannya terulur ke belakang punggungku sementara tatapannya tak berpaling dari mataku. Kemudian dia mundur, menciptakan jarak sehingga aku bisa menghirup kembali udara di sekelilingku.

"Kau menyukainya?"

"Apa?"

"Aku. Diriku."

Aku menaikkan sebelah alisku, dan dia langsung terbahak. "Kau terlihat begitu tegang. Maksudku, ini." Dia menunjukkan burung dalam sangkar, yang kini sudah berada di tangannya. "Kalau kau menyukainya, kau bisa memilikinya." Dia menyerahkan burung dalam sangkar itu padaku.

Aku mengambilnya.

"Sama-sama," sindirnya.

Aku mendengus. "Apa kau yang membuat semua ini?"

". Ini menyenangkan dan menenangkan dibanding hanya membaca tulisan-tulisan orang yang sudah meninggal. Jangan salah paham, aku mengagumi para penyair, tetapi aku tidak akan menghabiskan seumur hidupku untuk memahami pikiran mereka."

"Kupikir, kau memahami orang lain dengan baik."

"Oh, benarkah?" Dia menatapku serius. "Aku bahkan tidak bisa membacamu, kupikir itu sangat menyebalkan."

Aku mengalihkan pandanganku darinya, tidak yakin apa yang kurasakan. Sebuah dentuman di jantung. Hal-hal yang berkaitan dengan kimia. Aku memeluk jurnal Derek di dadaku, menghindari bagian diriku yang terasa begitu transparan, seakan dia bisa melihat menembus ke dalam hatiku.

"Aku harus pergi," ucapku akhirnya.

"Ke mana?"

"Pike's," jawabku, berharap restoran itu masih ada.

Dia mengernyit, tampak tak yakin. "Oh, kau akan makan siang di luar?"

"Tidak. Aku hanya—" kata-kataku tersangkut di tenggorokan, aku hanya ingin melihat seperti apa tempat itu, dan mungkin jika beruntung, aku akan bertemu dengan Lauren, atau bahkan Derek, di sana, mengingat restoran tersebut adalah favorit mereka. Dan aku tidak bisa memberitahu Nero tanpa menjelaskan semuanya. Jadi, aku berkata, "Ya."

"Kau tahu tempatnya?"

"Tidak." Aku memang tidak tahu di mana tepatnya Pike's berada, tetapi aku berencana untuk mencaritahunya nanti.

"Apa kau ingin aku menemanimu? Atau sekadar mengantarmu? Omong-omong, aku juga belum makan siang sejak sekolah pulang lebih awal."

Jika Nero mengantarku, mungkin itu akan mempersingkat waktuku mencari-cari restoran tersebut. Jadi, aku memutuskan untuk mengajaknya. "Kita bisa makan siang bareng di sana."

"Bagus! Kalau begitu, tunggu sebentar! Aku cari kunci mobilku dulu," ucapnya sebelum berjalan menuju pintu di ruangan ini, yang mengarah langsung ke kamarnya.

The Things She Left BehindDove le storie prendono vita. Scoprilo ora