82. Bab 82

41 4 0
                                    

Nina langsung melesat dengan taksi menuju alamat yang sudah ia kantongi dari mama mertua. Awalnya Enin lala itu yang berencana berangkat ke Singapura untuk menemani acara penutupan pertunjukan musik Lala, tetapi Pak Hadinata meminta samg istri untuk menemani di acara lain yang waktunya bertepatan dengan acara Lala.

Bahkan Pak Hadinata sendiri sudah menghubungi Lala, jika sang nenek tidak bisa datang. Gadis muda itu merasa sedih dan kecewa karena ia sudah membayangkan mengajak Enin jalan-jalan sebelum pulang ke Bandung. Meskipun sudah seringkali sang nenek menginjak tanah Merlion, Lala merasa hari itu adalah yang paling istimewa.

Dina tengah berada di kamar Lala saat terdengar pintu depan berbunyi. Keduanya berhenti sejenak menggosip tentang lelaki bermata oriental yang menjadi crush Dina. Arkan.

"Ah, maneh mah payah. Itu lelaki teh cakep, La. Masa, sih, maneh gak tertarik sama sekali. Jangan-jangan maneh sukanya ka aing, yah?" Gurau Dina.

"Naon, sih. Gak waras kamu Dina." Pagi itu diwarnai tawa dua karib beda kepribadian itu.

"Udah ah, ada tamu, tuh."

"Saha?" Lala menautkan alis.

"Pak ketua kali, kita belum siap-siap, Lala." Dina segera melonjak dari posisi rebahan. Seperti mereka ketahui jika hari ini adalah acara penutupan yang akan diisi dengan sesi foto grup Saung Mang Udjo.

"Masih pagi banget." Lala melirik penunjuk waktu pada jam yang menempel di dinding ruang TV, waktu baru menunjukkan jam tujuh.

Nina sengaja memilih penerbangan awal tujuan Singapura hari ini, agar ia lebih leluasa berangkat dari rumah tanpa ada yang mengawasi. Pasalnya kediaman Nina dan Angga yang terletak di kawasan pantai indah kapuk itu, tak pernah lepas dari sorotan media. Seperti yang sebagian masyarakat kenal, Angga adalah pengusaha sukses meski pernah menerima catatan hitam di bisnis gelap yang pernah menyeretnya.

Berlindung di bawah nama besar Hadinata, Angga tetap bisa menggeliatkan sendi usahanya kembali. Di samping kebesaran nama sang papa, tangan dingin Angga selalu bisa menelurkan bakal usaha baru yang maju. Selain itu juga, awak media seperti menolak lupa atas rekam jejak Angga sebagai pelaku bisnis bodong.

Lala gegas menuju pintu depan apartemen yang mereka tempati. Tanpa melihat di lubang deteksi pintu, Lala langsung menekan tombol kunci, pintu pun terbuka otomatis. Ia pun tertegun melihat sosok yang berdiri di hadapannya, memandang dengan ekspresi yang entah.

"Mami, ngapain ke sini?" Pertanyaan spontan yang meluncur dari mulut Lala.

Mendengar kata sambutan dari sang anak seperti itu, Nina sedikit mengerutkan dahi.

"Kamu, kok, ngomong gitu?"
Tak menghiraukan ekspresi dan pertanyaan sang mami, Lala malah celingukan mencari seseorang yang mungkin datang bersama Nina.

"Enin mana?"

"Enin, kan, gak bisa datang." Nina seperti menegaskan.

Pikiran Lala langsung tersambung pada percakapan dengan kakeknya, Pak Hadinata, saat mengabarkan Enin tidak bisa datang. Mungkinkah itu rencana sang kakek mengirim maminya ke Singapura?

Lala masih bergeming. Memusatkan pikirannya pada hal-hal yang tak mengenakan dalam runutan waktu ke belakang. Di mana masa ia bertumbuh tanpa merasakan kasih sayang utuh sang ibu. Meski sang papi masih rutin menemuinya ke Bandung.

"Kenapa gak Papi aja yang ke sini?" Pertanyaan selanjutnya sungguh membuat Nina geram.

"Kamu kenapa, sih? Bukannya disambut dengan baik, disuruh masuk aja belum, udah ditanya yang gak enak. Mami ke sini buat kamu, La."

Bisnis Bodong (Tamat)Where stories live. Discover now