22. Bab 22

42 9 0
                                    

Grup nasabah koperasi itu kembali ramai. Ketika Nadia mulai putus asa karena sudah lewat dari 5 tahun sejak kasus itu booming. Bahkan pemilik utamanya sudah mendapat putusan hukuman pidana 15 tahun penjara, kabar pengembalian dana itu menguap begitu saja. Kadang-kadang grup pun digunakan unutk untuk pengumuman jualan dan informasi-informasi sejenisnya.

Hari ini seseorang merasa pihak ketua dan koperasi, bahkan pengacara yang mereka bilang telah disewa untuk membela hak-hak nasabah, tidak pernah terlihat hasil kerjanya.

[Pak Ketua, bagaimana, nih, kabar grup? Kok sepi-sepi aja?]

[Ada perkembangan apa dari pihak pengacara dan kurator? ]

[Ada kemungkinan gak uang kita kembali?]

Lama tak ada respon dari yang disebut ketua itu, lantas yang lain pun menyusul.

[Betul, gimana, nih? ]

[Iya, rasa-rasanya lagi capek banget. ] sela yang lain.

[Iya, ini sudah lama sekali. Apakah ada kepastian? ] Anggota lain pun tak ingin terus diam.

Hening.

Lalu seseorang kembali menyela membawa kabar yang entah dari mana.

[Benar seperti yang pernah dibilang oleh salah satu anggota, kalau aset sudah masuk ke pengadilan, alhasil tidak akan pernah kembali.]

[Jadi percuma dong, ya, kita nunggu. Katanya sewa pengacara dan kabar-kabar yang menggantung masalah pengembalian dana ini.]

[Kabarnya sedang diurus kurator dan selanjutnya akan diserahkan kembali sesuai surat kontrak yang pernah kita tandatangani.]

[Apakah kabar itu pasti? ]

[Jangan-jangan malah ada main, nih antara pengadilan dan kurator, gimana, nih ketua? Ada penjelasan gak? ]

Pesan-pesan berhamburan saling bersahutan satu sama lain, tetapi tetap masih sama, belum ada kepastian yang membuat para nasabah itu tenang, termasuk Nadia. Ia hanya membaca satu per satu pesan dan tak ada lagi keinginan untuk membahas terlalu jauh, karena betapa pun gigihnya berdebat dan memperjuangkan hak, tidak akan ada penyelesaian yang nyata.

Nadia benar-benar telah hilang kepercayaan dan lelah mengikuti perkembangan di grup itu. Ia tetap harus bekerja dan berpikir keras untuk bisa mendapatkan uang demi menutupi cicilan.

[Assalamualaikum, Bu. Apa kabar? Nadia benar-benar minta tolong sama Ibu. Mohon pengertiannya, untuk cicilan ke bank saya sedikit ada hambatan. Apakah Ibu bisa bantu sedikit saja dari hasil penyewaan toko itu. Bukankah itu juga diperbaiki dari uang pinjaman?]

Nadia terpaksa berkirim pesan kepada Bu Rosmia dan meminta dibantu, karena ia merasa memiliki hak di tempat itu. Sama halnya seperti Nindi yang diberikan fasilitas full oleh Bu Rosmia. Begitu juga Kak Nina yang selalu tidak pernah ditolak semua permintaannya.

Ia memang tidak pernah meminta haknya untuk dimiliki karena sadar jika selama ibunya masih hidup, maka ia belum bisa mengambil haknya. Namun, keadaan memaksanya untuk mencari sedikit saja celah yang bisa ia dapatkan.

Tentu saja yang ia tuntut bukanlah hak pribadi secara utuh, tetapi berkaitan dengan bisnis dan ia merasa tidak ada salahnya berbagi keuntungan untuk menyelesaikan utang bersama.

Gusar, Nadia. Lama pesannya belum ada balasan dari Bu Rosmia.

Sementara beberapa minggu ini penjualan online yang ia jalani semakin menurun. Minat pembeli dalam berbelanja online sudah bergeser ke penjual yang menawarkan COD atau cash on delivery, jelas itu sangat menguntungkan bagi ibu-ibu yang pernah mengalami kekecewaan atau ditipu pihak online shop. Sebaliknya itu sangat merugikan pihak online Shop yang masih memberlakukan sistem pembayaran transfer dan amanah.

Bukan Nadia tidak bisa membuka penjualan dengan sistem COD, tetapi karena ia hanya menjalankan sebagai freelancer yang tanpa menyetok produk, otomatis segala aturan pengiriman dan proses order mengikuti aturan perusahaan terkait.

Bulan hampir selesai, tetapi penjualan tidak lebih dari 20 daftar. Makin pusing Nadia dibuatnya, belum lagi harus mempersiapkan dana untuk field trip sekolah anak-anak.

***

[Nad, gimana iklan tanah Kakak? Apakah masih lanjut?] Sebuah pesan masuk dari nomor Kak Nina.

Nadia melempar ponsel dengan malas ke atas kasur. Beberapa detik kemudian ponsel itu berdering meminta diangkat.

"Assalamualaikum, Kak." Nadia menyambut si penelepon.

"Nad, kok, gak dibales WA Kakak?"

"Maaf kak, belum sempat. Tadi sedang tanggung."

"Gini, Nad. Kata Ibu kamu sedang mengiklankan tanah yang mau dijual itu, Kakak cuma mau tanya gimana perkembanganya?"

"Iklannya saya masukan nomor Kak Nina dan Ibu, jadi Kakak liat perkembangannya langsung dari yang menghubungi." Nadia mencoba menjelaskan.

"Iya, tapi masalahnya sampe sekarang belum ada masuk chat yang tanya ataupun menawar tanahnya. Iklannya jalan gak?"

"Mungkin mereka hanya melihat iklannya tanpa klik ke nomor yang tersedia, kak. Karena saya lihat ada interkasi beberapa orang."

"Itu masih lanjut, kan, iklannya?"

" Untuk beriklan harus menggunakan biaya kak. Saat ini saya sedang ada kendala, jadi maaf gak bisa bantu lagi untuk melanjutkan iklannya."

"Jadi, mati, dong iklannya?"

"Masih ada 2 hari kedepan."

"Masa' kamu gak bisa talangin dulu biaya iklannya. Gimana kamu mau dapat bagian dari penjualan tanah itu, kalau bantu ngiklan aja gak mau!" Nada suara Kak Nina tersengar sedikit ketus.

"Maaf, kak. Tapi kondisi saya saat ini memang sedang tidak bisa. Belum lagi saya harus menyediakan dana untuk piknik sekolah anak-anak."

"Ya, udah. Tapi kalau tanah itu kejual, aku gak janji juga mau nolongin kamu. Lagian suruh siapa sekolah di tempat elit kalo kamu tau banyak cicilan. Harusnya jangan memaksakan keadaan, Nad. "

"Maaf, kak. Untuk sekolah anak-anak tidak ada kaitannya dengan masalah yang saya hadapi. Bahkan Mas Tama saja tidak tau menahu, ia tidak sepeser pun menikmati uang itu, tapi justru dari uangnya lah saya berusaha menutupi cicilan. Itu juga sudah saya usahakan dan sebetulnya saya dapat bantuan dari hasil usaha toko Ibu, karena ini harusnya tanggung jawab bertiga antara aku, Ibu dan Nindi. Lagian waktu saya buka usaha demi mendapat hasil sampingan untuk cicilan, Ibu mana ada mendukung saya. semuanya hanya untuk Kak Nina dan Nindi saja."

"Nad, yang bodoh,kan, kamu, kenapa sampai tergiur dengan investasi bodong itu? Lagian kalo usaha kamu gak ada kemajuan, itu bukan salah orang lain, tapi kamunya aja yang gak becus. Jangan suuzon sama Ibu, itu juga salah satu yang membuat usahamu selalu buntu."

Kata-kata Kak Nina benar-benar telah menghempaskan Nadia ke dasar paling menyakitkan sekaligus membunuh moodnya saat ini.

Bagaimana pun dijelaskan kondisi Nadia saat masih tinggal di rumah ibunya, tidak akan ada yang mengerti. Saat ibunya lebih memilih memesan kue di tempat lain, saat penyewaan bajunya yang mulai mendapat pengunjung malah Bu Rosmia menyarankan untuk mengambil baju bari di butik Nindi, dan saat Nadia mencoba merambah usaha menjual produk dengan dititipkan di toko ibunya, tak sedikitpun Bu Rosmia mempromosikan produk itu.

Berkali-kali gagal dengan usahanya, lalu Nadia mengikuti saran di media sosial sebagai reseller dan freelance customer service hingga hari ini.

"Terserah Kak Nina mau mikir apa. Saya susah lelah.kita cari solusi masing-masing saja. Assalamualaikum." Nadia memutuskan untuk tidak melanjutkan percakapan. Sambungan pun diputus sepihak tanpa mendengar jawaban sang kakak.

Nadia sangat paham apa yang selanjutnya akan terjadi, tetapi kali ini ia tidak bisa diam lagi dengan segala kelelahan ini.

***
Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant