67. Bab 67

53 4 0
                                    

Membelah jalanan Bandung sore hari setelah hujan, tidak mengurangi kepadatan pengguna jalan. Bandung terkenal dengan kota padat setelah Jakarta, apalagi suasana sore di Kota Kembang begitu mempesona. Khususnya bagi kalangan anak muda, seperti tak bisa berdiam diri menikmati waktu di tempat masing-masing.

Mereka seolah-olah tidak ingin melewatkan waktu tanpa menyusuri setiap keindahan sudut Bandung yang memang terlalu indah untuk dilewatkan. Pak Amin bersaing dengan beberapa kendaraan lain menerobos jalanan menuju area Pasteur di mana kantor milik Angga bertengger. Seharusnya tidak memakan jarak antara mobil Angga dan Pak Amin karena hanya berjeda beberapa detik saja.

Namun, sepertinya Pak Amin kehilangan jejak mobil yang dikendarai Angga, Pak Amin pun langsung menuju kantor yang hanya memakan waktu kurang lebih 15 menit dari area Pajajaran. Suasana di depan kantor Hadi Eka Utama itu tampak sepi, jam kantor pun sudah lewat. Hanya ada security yang bertugas di sana.

"Pak Amin," sapa sang sekuriti saat mengenali mobil dan pengemudi yang baru saja tiba di sana.

"Pak, Bapak sudah datang?" Sebelum menuju ruang parkir, Pak Amin membuka kaca mobil lebih lebar demi bisa bercakap dengan sekuriti. Penunjukan kata Bapak, sudah dapat dimengerti oleh sekuriti tersebut.

"Tidak melihat mobil Bapak masuk, Pak Amin. Dari tadi saya ada di pos jaga terus, tidak ada Bapak ke sini." Sang sekuriti seperti mengingat-ingat, tetapi keyakinannya kuat jika mobil Angga tidak memasuki area kantor.

Pak Amin tampak menggaruk kepalanya. Lalu menghubungi sang nyonya tanpa menunggu lama, sambil beranjak pamit dari gedung besar itu.

"Assalamualaikum, Bu Nina."

"Waalaikumsalam, Iya Pak Amin, ada apa, Pak?"

"Punten, Bu. Di kantor teh tidak ada mobil Bapak. Atuh saya cari ke mana?" Di ujung telepon, suara sang sopir tampak bingung.

Nina mengerutkan dahi mendengar penuturan sang sopir.

"Pak Amin sekarang di mana?"

"Masih di depan kantor, di pinggir jalan."

"Belum masuk ke kantor?"

"Sudah, Bu. Kata satpam tugas, tidak ada mobil Bapak ke sini."

"Ya, udah atuh Pak Amin pulang aja."

"Muhun, Bu." Setelah mendapat perintah, Pak Amin pun lekas kembali ke Jalan Pajajaran di mana kediaman mewah keluarga Rangga Hadinata berlokasi.

Nina terus memikirkan kemana perginya sang suami. Jika ia menelepon, pasti tidak akan diangkat. Sedikit kesal ia meremas ponselnya dan membuka aplikasi hijau, bermaksud untuk mengirim pesan. Tanpa sengaja Nina melihat penunjuk lokasi di kontak Angga tidak dimatikan. Ia urung berkirim pesan, matanya tertuju pada titik di mana Angga berada, Arcamanik.

Ada urusan apa Angga di daerah Arcamanik?

Perempuan bertubuh tinggi jenjang itu mencoba mencari informasi semua pengacara keluarga, mungkin saja salah satunya ada yang tinggal di sana. Sesuai data yang pernah Nina simpan di ponselnya, semua pengacara keluarga Hadinata tidak ada yang tingg di daerah Arcamanik.

Ah, mungkin ada pertemuan di sana. Pikirnya positif.

Namun, hatinya tetap saja diliputi kekhawatiran, mengingat Angga baru saja keluar dari tempat pengurungan. Lebih menakutkan lagi kalau ada orang yang masih belum terima dengan keluarnya Angga yang lebih cepat dari dakwaan.

"Mami, liburan sekolah tahun ini kita jalan-jalan,  yuk. Kan, udah ada Papi." Putri bungsu Nina - Angga mulai merengek.

"Memangnya Nana mau jalan-jalan ke mana?" Nina yang masih menggenggam ponsel, menoleh sejenak ke arah si bungsu.

"Kita ke Korea aja, Mi. Mumpung banyak tiket promo. Nih, Kakak liat di travel agen langganan kita." Chaca tak mau kehilangan momen unjuk suara untuk mengajukan tempat liburan. Nina mengulas senyum sebagai respon kepada si sulung

"Wah, boleh, tuh. Ayo, Mi bilang Papi." Lala pun mendukung sang kakak.

Entah kenapa, Nina tidak begitu memberikan ketertarikan setiap kali Lala memberikan pendapat di rumah.

Sehingga Lala dikenal menjadi anak pendiam dan jarang sekali mengeluarkan pendapat atau keinginan kepada orang tuanya. Sebab ia tahu semua permintaannya akan sulit terkabul, tidak seperti Chaca dan Nana.

Ada kecenderungan perbedaan perlakuan dari Nina terhadap anak tengahnya itu. Padahal Lala bertingkah dan bersikap sebagaimana dua saudara lainnya, bahkan terkesan penurut.

"Nanti Mami pikirkan, Mami harus bicara sama Papi dulu. Anak-anak makan dulu, gih. Chaca kamu ada jadwal les gak hari ini?"

"Nggak ada, Mi. Jadwal baletnya besok."

"Lala, Nana, selesai makan kerjakan PR terus tidur."

"Mi, boleh, gak Lala ikutan les musik?" Lala mencoba meraih peruntungan dengan sang mami.

Nina menoleh ke arah anak tengahnya, menatap dan menganalisa adakah bakatnya sesuai yang dipilih. Ibu tiga anak itu yang hanya akan menentukan pilihan bagi mereka, tertarik atau tidak. Nina memiliki obsesi berbeda kepada tiga putrinya itu.

Keinginannya mengarahkan si sulung menjadi balerina, di otaknya telah bersarang rencana untuk Lala yang akan didaftarkan les renang. Ia ingin Lala menjadi atlet renang putri. Untuk si kecil Nana, Nina berencana memasukkannya les robotik.

Ia berpikir jika Lala cenderung pendiam dan cocok menjadi atlet yang kurang tampil dan bicara tapi lumayan menghasilkan. Namun, hari ini keinginan anak tengahnya berbeda dengan rencana yang ada di otak sang mami.

"Memang Lala bisa main musik? Terus kalo les musik mau jadi apa? Penyanyi, pemusik, pencipta lagu?" Nina bertanya seperti menekan.

"Lala hanya suka aja, Mi."

"Lala, les itu mahal, Sayang. Kalau mau les, cari yang bisa diseriusin dan bisa menghasilkan di kemudian hari. Jangan hanya Ikut-ikutan. Memangnya Lala suka musik apa?"

"Lala mau ikut les musik gamelan dan angklung di Saung Mang Udjo, Mi."
Mendengar penuturan Lala, Nina jadi semakin tak mendukung keinginan putri tengahnya itu.

"Aduh, kamu ini ada-ada aja. Udah, ah. Mami sibuk, mau ngurus kerjaan dulu. Kalian makan dan kerjakan tugas sekolah."

Nina pun berlalu dari hadapan ketiga putrinya. Meninggalkan sendu di raut Lala. Chaca yang acuh tak acuh, hanya membiarkan adiknya itu menekuk wajah. Sedangkan Nana segera meluncur ke meja makan.

Seraya mengayun langkah menuju kamar utama, Nina terus menggerutu tentang hal yang ia temukan hari ini. Tentang Angga yang tiba-tiba pergi ke Arcamanik, lalu permintaan liburan dari Nana, terakhir Lala ingin les musik angklung. Ia mengurut dahi dan merelakan napasnya dilepas kasar. Sepertinya ia harus menelepon Angga untuk menagih janjinya bahwa lelaki berdarah Sunda itu akan pulang pas jam makan malam.

Begitu membuka aplikasi hijau dan menuju nomor sang suami, Nina kembali melihat GPS nomor Angga bergerak ke arah Buah batu. Jelas daerah itu sangat jauh jika ditempuh dari Arcamanik dan pasti akan terlambat sampai di rumah. Otaknya kembali berkedut, benarkah Angga menemui pengacaranya? Tapi, jika suaminya itu berbohong, pasti sudah dimatikan GPS-nya. Lagipula daerah Buah batu memanglah tempat pengacaranya bermukim.

***
Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang