44. Bab 44

42 5 0
                                    

Beberapa gelas minuman yang Nadia ramu, sudah dihabiskan. Badannya terasa sedikit hangat dan segar, tetapi tulang-tulang dan sensi serasa dilolosi.

Lemas.

Ia memutuskan meminum obat flu dan sakit kepala supaya bisa beristirahat sejenak sebelum magrib tiba. Namun, suhu badan itu semakin tidak terkendali. Bahkan kian gigil saat ia sadar kembali. Rasanya aneh, tidak seperti sakit kepala atau flu biasa. Ada tanda tanya di hatinya, mungkinkah ini juga yang dirasakan sang ibu.

Apakah ini rasanya terlumpuhkan virus itu? Entahlah.

Nadia berusaha tenang agar bisa mengurus diri dan anak-anak. Sementara Bu Rosmia, Nadia meminta bantuan Nindi untuk membantu mengurus. Ia baru saja melewati pintu kamar Bu Rosmia hendak menuju dapur, saat Nindi masuk membawakan bubur untuk sang ibu.

Langkahnya pelan dan gemetar, dari luar pintu sayup terdengar percakapan ibu dan adiknya.
"Ibu tiba-tiba pusing dan badan ibu lemas, terus malah tambah panas. Langsung dikasih obat sama Nadia, agak mendingan. Malamnyaa panas lagi."

"Dimakan dulu, Bu, buburnya. Nindi buatkan bubur, lalu minum obat lagi. Ibu gak ke dokter aja?" Nindi meletakan punggung telapak tangan di kening ibunya. Masih tetap panas.
"Gak, ah. Takut malah harus di tes ini itu. Coba perawatan di rumah aja. Gak tau kenapa tiba-tiba terserang demam, ibu takutnya kena virus itu. Padahal sebelum Nadia datang Ibu sehat-sehat saja."

Tenggorokan Nadia terasa begitu tercekat mendengar ucapan Bu Rosmia barusan, ia paham maksud kalimat terakhir yang diucapkan.

Lantas ia menyegerakan langkah menuju dapur untuk mengambil air putih dan segelas jamu rempah lagi. Lalu kembali ke kamar dengan tergesa, supaya tidak terlihat oleh Nindi. Ia tak ingin Nindi berasumsi ucapan Bu Rosmia didengarnya, meskipun kenyataannya demikian.

"I see who you are, you are m enemy" Arkan dan Jodi menyanyikan lagu_ permainan mereka.

Saat kembali ke kamar, samar-samar ia mendengar suara anak-anak memasuki pintu belakang dari arah taman. Mereka baru saja menyelesaikan masa bermain dengan Farhan. Ledua bocah itu segera memburi kamar di mana ibunya berada.

"Ma, aku lapar." Arkan menatap.

wajah Nadia yang tengah kelelahan.

"Aku juga, Ma." Jodi mengikuti sang kakak.

Nadia yang baru saja berbaring lemah, harus kembali bangkit dan menuju dapur untuk menyiapkan sesuatu sebelum malam tiba. Setidaknya jika anak-anak sudah terisi perutnya, mereka akan terlelap dan ia pun tenang beristirahat.

Hatinya masih kesal, kepala pusing, badan jelas sangat tak nyaman. Berdiri saja rasanya berat dan tak mampu menopang tubuhnya. Di antara rasa yang bercampur aduk, ia paksakan diri tetap menyiapkan segala kebutuhannya dan anak-anak. Ingin rasanya segera menyelesaikan tugas itu, tapi ia sadar menggoreng sesuatu butuh waktu.

"Arkan dan Jodi makan sendiri, ya. Mama istirahat di kamar." Keduanya mengangguk kompak. Nadia pun lega dapat beristirahat dengan tenang.
Berharap esok ia akan pulih. Ini hanya flu biasa, ayolah, Nadia!

Nyaman sekali rasanya merebahkan punggung dengan beberapa tumpukan bantal yang menumpu kepala dan punggungnya. Perlahan mata itu terpejam sempurna.

"Loh, kok, makan sendiri? Mama kalian mana? Kok, tiduran aja. Nenek sakit, kok, gak buatin makanan ato apa gitu loh." Terdengar Nindi menyela di waktu makan Arkan dan Jodi. Kedua bocah yang tak tahu apa-apa itu, hanya bengong mendengar ucapan sang tante. Sayup telinga Nadia mendengar samar karena seluruh kesadarannya terhisap obat dan rasa ngilu.

Tak lama ia membuka mata dan makin terdengar jelas perkataan Nindi.

"Ada apa, Ndi? Tadi pagi sebelum minum obat aku kasih ibu ramuan rempah dan beberapa potong roti. Katnaya mau yang lembut." Nadia berusaha menjelaskan dengan kepayahan.

Bisnis Bodong (Tamat)Where stories live. Discover now