36. Bab 36

38 10 0
                                    

Hari ini Nadia merasa sangat pusing, kepalanya tak berhenti berdenyut. Ia meminum obat sakit kepala untuk sedikit melenyapkan rasa sakit. Ia tak ingin kesakitan itu menyerang seluruh tubuhnya, lalu akhirnya tumbang.

Sebisa mungkin jika merasa kurang enak badan, ia terus melawan tanpa merasakannya lebih dalam. Apalagi dengan situasi yang tak mengenakan seperti saat ini. Kekhawatiran jika terjatuh sakit adalah terdampak virus ganas itu.

Rasa kantuk pun mulai menyerang, ia tak sadarkan diri ke dalam lelap. Mungkin efek dari obat sakit kepala itu. Sementara kedua bocahnya, Arkan dan Jodi, setelah selesai mengerjakan tugas merasa kelaparan. Seperti biasanya, sebelum tidur Nadia selalu menyiapkan makan malam, supaya anak-anak tertidur lelap. Malam ini ia terlupa karena tak sehat.

Lantas kedua jagoan kecil itu hanya bisa membuka dan menutup lemari es, di sana mereka hanya menemukan beberapa makanan yang siap santap. Meski dingin, tak dipanaskan lagi mereka menikmatinya karena rasa lapar yang tak tertahan. Sedangkan mereka tak mungkin membangunkan Nadia yang terlelap.

Arkan hendak membangunkan sang mama, tetapi Jodi menghalanginya. Ia yang lebih kecil usianya justru lebih bisa melakukan semuanya sendiri, meskipun belum rapi dan sempurna.

"Jangan bangunkan Mama. Kita ke dapur saja, cari makanan." Jodi berbisik kepada sang kakak, Arkan, yang mengantongi wajah sendu karena lapar.

"Gak ada makanan yang bisa dimakan di sana harus dimasak dulu. Aku mau sosis." Arkan yang pemilih makanan, tidak terbiasa melakukan hal seperti Jodi.

"Ada roti. Makan aja daripada lapar. Minum susunya sampai kita kenyang," tukas Jodi lagi.

Akhirnya kedua kakak adik itu menikmati makan malam seadanya, demi tak mengganggu tidur sang mama. Bukan karena mereka paham, tetapi seringkali Nadia merasa jengkel jika waktu istirahatnya yang baru saja dinikmati beberapa menit lalu, harus diganggu karena mereka meminta sesuatu.

Terlebih Jodi, jika mendapat respon galak dari sang mama, ia akan gegas melakukannya sendiri. Meskipun akhirnya setelah beberapa menit sang mama menghampiri dengan perasaan bersalah.

Respon sikap seperti itu yang terkadang membuat anak-anak cepat mengingat dan mengadopsi perlakuan yang sama secara tidak disadari. Memacu kemandirian karena terpaksa. Alam bawah sadar Nadia tak ingin perlakuannya menggiring anak-anak mendapatkan ingatan buruk di masa kanak-kanaknya, karena ia terlalu keras. Tapi di sisi lain, Nadia tak bisa melawan dirinya sendiri jika kelelahan sudah melewati puncaknya.

Dalam keadaan ini yang butuhkan adalah hadirnya sang suami di tengah-tengah mereka. Mungkin tak terlalu berat jika dilakukan bersama dengan suami. Ada seseorang yang membantunya menyelesaikan tugas rumah atau sekadar untuk menemani anak-anak bermain atau sekadar membukakan tutup botol minuman. Setiap detik dan menitnya hanya kedua tangan Nadia yang melakukan semuanya sendirian.

Brak!

Sesuatu terjatuh dari meja saat Arkan hendak mengangkat piring ke tempat cuci. Antara sadar dan tidak sadar, Nadia terbangun dari lelap.

"Arkan, apa itu? Duh, kalian lagi pada ngapain, sih!" Setengah sadar, matanya terbuka dan memguatkan diri untuk bangun.

"Enggak apa-apa, Ma." Arkan terdengar ketakutan.

Nadia gegas keluar kamar, pasti ada sesuatu yang tidak beres.

"Ya, ampun! Itu diapain? Duh, udah mah masih sakit kepala, pusing tau! Ini lagi nambahin kerjaan aja." Melihat mangkuk berisi buah potong sudah terjatuh di bawah meja dengan serakan buah di mana-mana.

Arkan dan Jodi gegas minggir ke salah satu pojok ruangan dan berdiam di sana sambil saling membisikkan sesuatu. Nadia harus kembali sigap membersihkan tumpahan makanan itu sambil terus menerus mengomel karena kesal.

Lantai pun kembali bersih, sisa buah tadi sudah dibuang dan mangkuknya sudah dibersihkan. Nadia melewati meja makan yang tadi belum sempat ia teliti. Di sana tampak ada piring dan beberapa potong roti dengan olesan secara acak. Seperti telah habis dimakan. Seketika itu ia sadar jika sore itu, belum mempersiapkan makan malam untuk anak-anak karena terlelap kantuk.

"Arkan, Jodi." Nadia segera berlari menuju kamar setelah dilihatnya kedua bocah itu tak ada di ruang tengah.

Betapa merasa bersalah dirinya saat ditemukan kedua anak itu sudah terlelap tidur dengan posisi yang sepertinya melindungi diri masing-masing agar tidak kena omelan mama. Nadia jatuh tersungkur di atas kasur. Hatinya hancur, kenapa harus mendahulukan kemarahannya tanpa mencari tahu dahulu alasan di balik kejadian itu.
Sebetulnya membersihkan kekacauan tak memakan banyak waktu, hanya saja ketika diri sedang tak baik-baik saja, emosi pun kadang tidak terkendali.

Anak seusia itu memang seharusnya sudah belajar mandiri, tetapi ada cara Nadia yang dirasa masih kurang pas dalam mengajari mereka. Terutama perasaan bersalah karena terlalu keras.

"Arkan mau makan apa? Arkan dan Jodi belum makan, ya?" tanya Nadia seraya mengelus pucuk kepala kedua bocah itu.

Mata Arkan yang mulai terlelap hanya merespon dengan anggukan pelan, tetapi tak lagi berdaya karena sudah mengantuk. Begitu juga Jodi yang telah terhanyut dalam tidurnya. Tak ada yang bisa Nadia lakukan selain menciumi keduanya dengan perasaan sesal.

[Mas, kadang aku merasa lelah berjuang sendiri bersama anak-anak. Hidup sendiri saat melajang tidak sama dengan hidup sendiri dengan anak-anak. Kadang sakit aja aku gak bisa seenaknya istirahat.]

[Kalau ada kamu, seengaknya ada yang bantuin anak-anak kalau aku ketiduran atau gak enak badan. Sekadar menyiapkan makanan atau bermain dengan mereka.]

[Seringnya mereka sibuk dengan dunianya sendiri, karena aku juga sibuk mengurus ini itu semuanya. Ditambah sekarang harus menjadi guru juga di rumah karena masa belajar online. Percuma bayar sekolah kalo begini.]

Nadia berkeluh kesah melalui pesan yang dikirim kepada suaminya. Meskipun ia tahu tidak akan mendapatkan respon yang mendalam dari sang imam. Setidaknya ia memiliki tempat untuk melupakan isi hatinya.

Nadia sangat paham dengan watak Witama, yang lebih banyak diam dan tidak suka banyak drama. Jika Nadia tengah berkeluh kesah, ia hanya cukup membaca atau mendengarkan dengan respon-respon ringan yang bisa membuat mood istrinya kembali. Kecuali jika ada yang perlu diluruskan dalam sikap Nadia yang dirasa berlebihan, Witama akan memberinya pengertian tanpa bisa dibantah. Itulah lelaki!

[Perlu waktu berapa lama lagi untuk kita bisa tinggal bersama, Mas?]

[Anak-anak bertumbuh sangat cepat. Apa kamu gak mau sama-sama melihat pertumbuhan mereka? Jangan nyesel kalo pas kita tinggal bersama, mereka tiba-tiba sudah besar dan sibuk dengan dunianya sendiri.]

Nadia seolah-olah memberikan ultimatum yang tak bisa ditawar tentang waktu, karena jika masa itu sudah terlewati, maka tidak akan bisa diulang. Kedua makhluk bernama ayah dan anak, apalagi anak laki-laki yang membutuhkan peran ayah di masa tumbuh kembangnya perlu menghabiskan waktu bersama.

Sebagai seorang Ibu, Nadia juga harus berperan sebagai ayah selama mereka tinggal terpisah. Ia sangat merasa khawatir jika pola pikir dan role model seorang ayah yang ada di benak anak-anaknya adalah sosok yang tidak menyayangi mereka karena tidak pernah tampak kehadirannya.

Benarkah karena keadaan atau memaksakan diri menerima keadaan itu? Bukankah banyak cara untuk mengusahakan agar bisa hidup bersama? Lalu apa yang Witama tunggu sebetulnya?

Setiap detik, satu pertanyaan menumbuhi kepala ibu anak dua itu. Sehingga terkadang dalam jiwa yang merasa labil, semua pertanyaan yang terpendam akan berloncatan memenuhi dahi, otak belakang, ubun-ubun bahkan hingga ke tulang. Semuanya serentak berkedut dan ngilu.

***
Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora