51. Bab 51

48 7 0
                                    

"Gus Azhar sudah datang, ayo berkumpul di ruang pendopo untuk mengikuti doa bersama." Bi Arika mencari satu per satu anak, cucu dan menantunya.

"Iya, Ma. Raja, Ratu, Viola, yuk, ikut ke pendopo." Indah memberikan isyarat pada anak dan ponakan yang masih duduk di teras samping.

"Arkan dan Jodi mana?" Bu Arika menunjukkan tanya dengan kerutan di keningnya.

"Tadi sedang makan dulu, mungkin Nadia juga masih di dalam menyuapi mereka," tutur Indah.

Sementara Ameera sudah bergabung dengan para tetamu di pendopo untuk memulai doa bersama.

"Ya, sudah. Yuk, kita ke pendopo. Keburu dimulai." Bu Arika diikuti Indah dan keempat cucunya menuju ruangan yang sudah dipenuhi para handai taulan.

Di tempatnya duduk, Bu Arika mengitari pandangan ke seluruh ruangan. Mencari sosok dua anak lelakinya, Tama dan Sena. Serta ia juga memastikan jika  Anita ikut bergabung di sana atau tidak.

Perempuan yang hari ini terlihat anggun dalam balutan gamis berbahan brokat itu menyusuri pandangan ke arah dapur luar  di balik tembok pemisah antara paviliun kecil, di seberang pendopo yang dipisahkan taman lapang. Tembok setengah badan yang atasnya ditanami pagar besi, sehingga pandangan masih bisa menembus ke ruang dapur luar.

Di sana seorang berbalut gamis biru dongker dengan hijab senada, terlihat sedang menenangkan lelaki kecil di pangkuannya yang mulai rewel. Ada sebongkah  rasa iba, bukan karena Anita tertinggal sendirian di sana, tetapi harus diakui Dion adalah darah daging Sena. Keturunan keluarga Sasongko. Perjalanan hidup yang dipilih Sena bukanlah hal yang sederhana. Arika sangat takut jika sulungnya tidak bisa bersikap adil kepada kedua istri, terutama kepada anak-anaknya--Raja, Ratu, Dion.

Di dalam paviliun Nadia masih sibuk menyuapi Arkan dan Jodi, pikirannya terus tertuju pada wanita berhijab tadi, Anita. Wajahnya ayu, mata sayu meneduhkan, senyumnya juga manis. Nadia tak habis pikir kenapa wanita semanis dia mau jadi istri kedua. Apa sudah tak bisa mencari pria yang sama-sama single. Meskipun Nadia tahu ceritanya dari Tama, tetap saja masih merasa heran. Atau mungkin karena Sena seorang polisi, jadi selain memang masih ada rasa cinta yang tertunda, mungkin saja ia mencari keuntungan di hubungan itu.

Nadia memejamkan kedua matanya. Sepiring nasi sayur  telah tandas dilahap kedua lelaki kecilnya. Selang beberapa menit, Arkan dan Jodi ditemukan telah tergeletak dalam lelap di atas tempat tidur. Kelelahan meliputi kedua wajah yang larut dalam pejam.

Tak bisa dibayangkan jika masalah itu terjadi pada dirinya dan Witama. Seorang Indah saja mau bertahan demi karir sang suami, supaya tidak mendapat sanksi tidak hormat. Nadia yakin bukan hanya ingin menyelamatkan karir suami, tetapi juga kehormatan keluarga sang mertua yang memiliki nilai tinggi di instansi Sena bekerja. Meskipun sudah lama pensiun, Senopati tetap mendapat tempat di jajaran kepolisian Surabaya.

***

"Ma, paviliun yang paling ujung, kan, hanya di isi anak-anak. Malam ini biar Anita dan Dion tidur di sana." Sena tiba-tiba menyela di antara acara makan malam keluarga.

Acara doa bersama telah usai sejak siang tadi, Anita membantu membereskan semuanya bersama Mbok Sur dan Mbak Nur di dapur. Sebab itu sampai magrib menjelang, Anita masih berada di sana. Kendati demikian, ia tidak ikut makan di meja yang sama dengan keluarga inti Sasongko. Ibunda Dion tetap memilih istirahat di bale-bale teras belakang dapur, tempat di mana ia menidurkan Dion tadi siang.

Hanya saja setelah malam menjelang, Dion kembali terlelap sebelum Anita selesai membantu Mbok Sur. Itulah alasan Sena meminta persetujuan sang mama untuk mengizinkan Anita dan Dion tidur di paviliun yang ditenpati Raja dan Ratu malam ini saja.

"Maksudnya?" Indah segera menyela.

"Mungkin maksud Mas Sena hanya untuk semalam, Mbak." Ameera yang belum tahu cerita tentang Anita ikut menimpali.

Sementara Bu Arika, Tama dan Nadia hanya terdiam saling memandang satu sama lain. Bu Arika bingung memberikan jawaban.

"Itukan, paviliun kalian, kamu harus minta izin sama Indah dan anak-anak." Bu Arika terlihat pasrah dan serba salah.

Sejak Senopati meninggal sepuluh tahun silam, Arika yang menempati rumah utama sendirian. Sementara di belakang halaman rumahnya dibangun tiga paviliun besar yang tadinya merwka sediakan untuk anak-anak, supaya tinggal bersama. Namun, hanya Sena yang berada di Surabaya sampai hari ini.

Arika tak ingin kesepian sendiri di rumah besar itu, ia meminta Sena dan Indah tetap menempati kamar kecil Sena. Dulu ia menempatinya dengan sang adik, Witama. Sementara Ameera menempati kamarnya sendirian, yang sekarang kamar itu dijadikan kamar khusus tamu. Lalu, paviliun yang dibangun untuk Ameera selama ia tinggal di Sulawesi, ditempati oleh Mbok Sur dan Mbak Nur. Hanya pada saat Ameera datang, Mbok Sur dan Mbak Nur pindah sementara ke kamar pembantu di dekat dapur.

Rupanya Indah kurang setuju jika Anita bermalam di paviliun yang ditempati Raja dan Ratu, ia tidak ingin memberi kesempatan kedua anaknya dekat dengan istri kedua Sena. Apalagi sampai memunculkan rasa sayang terhadap Dion.

"Kenapa harus di paviliun, sih? Di kamar Mbok Sur ato Mbak Nur, kan, bisa." Indah menjawab sedikt ketus sambil tangannya menyendok lauk untuk Raja dan Ratu.

Anak-anak yang hadir makan malam di meja utama tetap melanjutkan makan sambil sesekali melirik ke wajah-wajah orang dewasa di meja itu, yang tampak tegang. Tidak seperti beberapa menit sebelum mereka memulai makan. Obrolan seputar keluarga masih terdengar hangat.

Raja, sulung Indah dan Sena, sedikit menangkap ada yang tidak baik-baik saja antara kedua orang tuanya. Apalagi setelah Sena bicara sesuatu yang berkaitan dengan perempuan berhijab yang baru Raja lihat hari itu.

"Tapi kasian, Mbak kalo di kamarnya Mbak Nur. Kecil dan gakbada AC nya, mana dia bawa anak kecil lagi." Ameera seperti berpihak pada sang kakak.

Indah paham dengan sikap dermawan Ameera yang diturunkan dari Senopati, tetapi bukan Indah tidak merasa kasian, hanya saja Ameera yang tak paham. Sang kakak ipar pun bingung, entah harus menjelaskan apa pada adik iparnya itu. Ia tidak bisa menjelaskan saat ini, di kala semua anak-anak berkumpul dan juga masih belum siap jika suami Ameera juga harus mendengar kabar tidak bagus ini.

"Memangnya siapa Anita itu, Pi?" Raja tak tahan untuk tidak menyuarakan yang sejak tadi menggumpal di kepalanya.

Semua terdiam kaku mendengar pertanyaan Raja, kecuali Ameera dan suaminya serta sepupu Raja yang sama-sama tidak paham dengan perbincangan mereka.

"Raja, Ratu, anak-anak kalau sudah selesai makannya. Boleh main atau kembali ke paviliun masing-masing." Bu Arika mencoba menengahi.

Raja pun melupakan pertanyaannya, kemudian berdiri diikuti anak-anak yang lainnya. Indah sedikitnya setuju dengan sang mama mertua, belum saatnya Raja mengetahui tentang Anita.

***
Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang