6. Bab 6

67 15 0
                                    

Nadia baru saja menerima pesan dari Witama, jika dirinya sudah mengirim uang jatah bulanan. Wajah ibu muda itu mendadak sumringah setiap kali mendapat kabar serupa di awal bulan. Semua istri pasti merasakan hal yang sama, bukan? Itulah yang ditunggu-tunggu.

Namun kemudian, Nadia kembali murung karena ingat ada bebebrapa cicilan yang harus ia tanggung. Seperti biasa, keuangan ia rinci sedemikian rupa agar bisa cukup hingga akhir bulan. Mulai dari pembayaran sekolah Arkan dan Jodi, cicilan ke bank, pembayaran internet, pembayaran listrik, dan masih dipusingkan oleh berbagai kegiatan sekolah yang memerlukan biaya tambahan. Sebab itu Nadia juga harus bisa menyisihkan sebagian untuk biaya tak terduga, meski di akhir bulan biasanya tetap saja habis tak bersisa.

Kepala rasanya berdenyar, setiap kali kiriman itu datang, setiap kali itu pula ia harus mengatur dengan hati-hati. Bahkan sekedar membelikan baju anak-anaknya saja bisa dihitung jari dalam setahun. Seharusnya Nadia bisa membelikan baju baru setiap bulan, setidaknya satu pasang. Apalagi untuk dirinya, ia tidak berpikir sama sekali membeli barang-barang di luar kebutuhan. Meskipun dipikirannya kadang terlintas ingin seperti istri yang lain, menyisihkan uang kiriman suami untuk ditabung.

Nadia masih teringat ucapan salah satu tantenya yang menceritakan bahwa anaknya--sepupu Nadia--sekarang sudah membeli tanah dan sawah dari hasil yang diberikan suaminya.

"Kita sebagai istri harus pandai, Nadia. Masa' kiriman tiap bulan habis terus, harus bisa ditabung. Suami itu harusnya bisa memberi lebih. Jangan bodoh, kita sudah capek melahirkan, ngurus anak. Masa' gak dapet apa-apa!"

Waktu itu Nadia hanya menangkap cerita tantenya sebagai motivasi saja, tetapi setelah ia pikir-pikir beberapa lama, ada betulnya juga. Mungkin saat ini Witama masih belum bisa berencana membeli rumah sendiri, tetapi apa salahnya jika Nadia mulai menabung setiap bulan. Di samping cicilan, ia sisihkan juga untuk tabungan. Meski ia tak yakin bisa, karena pasti habis.

Dorongan itu memunculkan ide lain di pikiran Nadia. Lantas ia meminta Witama melebihkan jatah bulanannya dengan alasan biaya tambahan sekolah anak-anak. Senaif itukah Nadia, bisa langsung terdorong hanya karena ucapan si tante yang bangga memiliki anak sukses? Tapi itulah yang Nadia ikuti.

Betapa hati kecil Nadia membisikan senandung lirih tentang pendapatan suaminya di pulau seberang sana. Ia tahu gaji Witama tidak seberapa dan lelaki itu bukan tipe yang suka membebankan kepada keluarganya. Witama tidak pernah bercerita apa pun tentang kondisinya kepada keluarga di Surabaya. Meskipun keluarganya termasuk kalangan orang berada, tetapi lelaki berhidung bangir itu lebih senang dengan usahanya sendiri tanpa meminta dikasihani keluarga.

Beberapa kali Nadia sempat berpikir untuk mengontrak rumah di dekat mertuanya di Surabaya, dan mendiskusikannya dengan Witama.

"Mas, bagaimana kalau kita tinggal di Surabaya?" usul Nadia saat menyambung lewat telepon.

"Tapi, kan, kerjaan, Mas, masih belum selesai kontrak. Sayang kalau resign di tengah jalan. Lagipula aku mau kerja apa di sana, kalo mulai lagi dari nol."

"Maksudku, aku dan anak-anak ngontraknya di Surabaya aja, biar deket Mama."

"Sayang, kalo kalian tinggal di Surabaya, tidak boleh ngontrak di luar rumah, harus tinggal sama Mama. Satu rumah, bareng kakakku dan keluarganya juga. Itu sudah tradisi keluargaku, Sayang. Gimana? Kalo kamu yakin mau tinggal sama Mama, biar aku bilang ke mereka supaya disiapkan kamarku buat kalian."

"Hah, kok, gitu, Mas? Gak bisa gitu kita ngontrak aja di sana? Kenapa harus tinggal serumah?"

"Sayang, itu tradisi keluargaku. Tidak ada yang tinggal terpisah. Rumah kami besar, dan itu dipersiakan almarhum Bapak untuk kita tetap bersama."

"Tapi kalo aku tinggal di sana tanpa kamu, ya, canggung, Mas."

"Mas, gak maksa. Senyamannya kamu aja gimana?"

"Ya, udah, deh. Kita ngontrak sendiri terpisah dari Ibu dan Mama, gak apa-apa untuk sementara."

"Sabar, ya. Sebetulnya Mas mau ajak kamu dan anak-anak tinggal di sini saja. Inshaallah, aku segera dapat posisi bagus jadi bisa diberikan rumah sendiri dan bisa bawa anak istri ke sini."

"Iya, Mas. Mudah-mudahan, ya. Aamiin."

"Ya, sudah, Mas mau siap-siap masuk lagi. Jam istirahat sudah selesai. Assalamualaikum." Perbincangan mereka pun harus berakhir.

"Waalaikumsalam."

Lagi-lagi perasaan bersalah kepada suaminya bergelayut manja di sudut hatinya. Ulu atinya serasa bengak, sesak memuncak.

***

Sangat bosan dan jengah melihat manipulasi romantisasi dalam keluarga manapun, ketika ada satu momen yang mengurai tentang busuknya ucapan di belakang.

Drama itu terjadi di dunia nyata! Nadia pun sering kali menyaksikan itu saat masih tinggal di rumah ibunya. Bukankah itu lebih dari cerita telenovela? Atau memang telenovela berdasar fakta?

Ketika saudara dari berbagai penjuru datang dan mencurahkan berbagai kepelikan yang mereka hadapi kepada Bu Rosmia. Seolah-olah mencari solusi atau hanya berdiskusi, atau mungkin mengumbar sensai drama keluarga yang super random.

Tak hanya satu kali sang tante datang dan bercerita tentang masalah dengan anaknya atau menantunya, bahkan tak segan membuka borok-borok yang seharusnya tidak untuk dikonsumsi publik. Bu Rosmia menanggapi dengan bijaknya dan memberikan wejangan untuk menangkan si pencerita yang menjadi objek penderita menurut versinya.

Namun, lama-lama, Bu Rosmia malah menyerempet masalah Nadia yang tidak ada sangkut pautnya dengan obrolan. Seolah-olah ingin menyamakan nasib.

Sedu sedan itu masih terdengar di ruang tamu, sang tante masih terus saja mengobral kesedihan karena muara masalahnya adalah anaknya sendiri yang entah sebenarnya apa yang ingin ia capai dalam permasalahan itu. Tapi yang pasti keburukan anaknya tercecer kemana-mana. Nadia yang mendengar hal tersebut hanya menggeleng, lantas pergi menjauh, masuk ke kamarnya. Ia mencoba tidak tertarik dengan cerita-cerita yang sedikit banyaknya akan menyeret dia ke dalam curhatan tajam itu.

Rasanya baru kemarin mendengar si tante menceritakan kesuksesan anak menantunya. Lalu, tak ubahnya Bu Rosmia ketika percakapan itu berakhir, tiba-tiba ia berujar.

"Yah, yang namanya anak, apa pun yang dipunya orang tua, ya, milik anak. Tapi apa pun yang dipunya anak, belum tentu milik orang tua. Sabar aja."

Entahlah apa maksud dari ucapan Bu Rosmia. Apakah hanya menanggapi curhatan si tante atau ia justru sengaja menyindir anaknya sendiri.

Sudahi bodohmu, Nadia! Ia berusaha tidak terpancing.

Nadia masih harus terus berjuang dan parahnya perjuangan Nadia terus ia tambahi dengan kebodohan-kebodohan lain. Akal bulusnya pun berhasil mengelabui Witama. Suami yang bekerja keras banting tulang dengan tidak menghiraukan kondisi apa pun, menyanggupi permintaan Nadia untuk menambah uang bulanannya.

Jika seseorang tengah berjuang, hanya ada dua aturan. Membantunya, meski hanya sekedar menguatkan mental atau doa. Jika kamu tak berkenan membantu dan tidak tahu sekeras apa seseorang itu berjuang, maka sebaiknya diam, bukan malah menghakimi.

***

Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Where stories live. Discover now